Madyapadma35

XXXV Family

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Behind The Scene Kording P3RIODISTA

Proses pembuatan kording oleh kelompok P3RIODISTA .

Behind The Scene Kording 3LANG

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Behind The Scene Kording SEARCH3R

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Behind The Scene Kording TRI FIV3R

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Behind The Scene Kording CR35TAL

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 22 Mei 2012

Kumpulan Cerita "Cerita SMA-ku"

Untuk Melihat Kumpulan Cerita SMA-ku Klik Disini

Begadang Jangan Begadang

           Jum'at ini terasa begitu aneh untukku. Jam menunjukkan pukul 3 pagi dan aku terbangun tanpa sebab. Aku menengok ke kiri dan ke kanan, keluar dari kamarku dan berjalan turun ke lantai satu untuk mengambil air dari dispenser yang terletak di dapur rumahku. Karena merasa bosan, aku pun kembali naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku. Namun karena tidak mengantuk, aku turun lagi ke lantai 1 dan menghidupkan TV layar lebarku untuk mencari hiburan.
Ternyata eh ternyata, ada tim sepak bola favoritku yang sedang bertanding melawan salah satu tim kuat dari Belanda, Ajax Amsterdam. Rupanya kecintaanku terhadap Manchester United bisa membangunkanku dari mimpi indahku tanpa alarm. Kupikir pertandingannya bakal seru, tapi ternyata sangat membosankan. Tidak tahu sejak kapan, tiba - tiba ada getaran hebat yang menggoncang tubuh atletisku. “Gus, bangun gus ! Sekolah ! Udah pagi !”, sebuah suara yang keras masuk melalui telinga kiriku. Rupanya itu mamaku. Aku bingung dan langsung melihat jam. Sudah jam 6.30 ! Aku pun panik dan langsung buru – buru mandi. Rupanya aku ketiduran !!
Setelah mandi, aku langsung menyambar tasku, mengambil kunci motor dan tancap gas ke sekolahku tercinta, SMAN 3 Denpasar. Karena kesiangan, jalan menuju sekolah sudah sangat padat. Mana aku distop sama pak polisi pula. Bukan karena ada razia atau terlalu ngebut, tapi karena ada anak – anak yang mau nyebrang jalan. Sesampainya di Trisma, aku langsung meluncur ke tempat parkiran. “Dik ! Dik ! Parkirnya di lapangan basket !”, pak satpam meneriakiku yang sudah hampir memasuki tempat parkir. “Kenapa pak ?”, tanyaku dengan sinis. Pak satpam hanya diam dan menunjuk tempat parkir SMAN3 Denpasar yang ditutup dan dikelilingi dengan tali kuning yang nggak jelas. Rupanya saat itu tempat parkir di SMAN 3 Denpasar sedang diserang wabah ulat bulu. Sambil menahan rasa malu bercampur kesal dan takut, aku langsung memarkir motorku di lapangan basket dan berlari dengan sekuat tenaga ke kelasku di XI IPA 3.
Fiuuuuuh.. Rupanya bu guru belum datang ke kelas. Nafasku sudah terengah – engah dan jantungku berdegup kencang . Kupikir aku sudah telat. Mungkin nasibku sedang baik. Tapi tampaknya nasib baikku tidak belangsung lama. Saat Bu guru masuk kelas dan mulai menjelaskan materi pelajaran, kesadaranku mulai menipis. Bermodal rasa lelah dari begadang dini hari tadi , aku pun tertidur di kelas saat jam pelajaran pertama, kedua, dan ketiga (sambil berusaha melek saat bu guru mendekat). Badanku sangat lemas dan aku tak berdaya. Untungnya bu guru nggak tahu kalau aku sempat tidur pas jam pelajarannya. Alhasil aku nggak tahu dan nggak ngerti apa aja yang diajarin sama gurunya tadi.
Sudah capek – capek begadang dukung tim kesayangan, di sekolah ketiduran dan nggak ngerti apa, mana sampai di rumah aku melihat website resmi Manchester United untuk mengetahui skor akhir pertandingan yang tadi kutinggal tidur dan parahnya…. MU KALAH !!

Gitar Kesedihan

Bel pulang sekolah berbunyi , dan seperti biasa aku menunggu dijemput kakakku  di depan sekolah. Karena sudah hampir setengah jam  aku menunggu aku pun menelponnya “kak .. udah dimana? Lama banget sih, temen ku udah pada pulang semua nih” Tanya ku di telpon. “bentar lagi, ini udah di jalan ” jawab kakak ku. “ya udah cepetan ya! ”  kata ku sambil menutup telpon.
Tidak lama kemudian kak Aldo datang, “kok lama banget tadi kak?” Tanya ku sambil naik ke motor “iya tadi beli bensin dulu” jawabnya. “oh ya tadi kiriman dari ibu udah dateng” kata kakak ku saat berhenti di lampu merah. “masak? Apa aja isinya?” Tanya ku penasaran. Sambil melanjutkan perjalanan kak Aldo menjawab “ga tau, orang yang nganter belum pulang masak aku mau ngambil gitu aja?!”.
“owwh gitu ya.” Kata ku cuek. Kami pun melanjutkan perjalanan, dan tidak lama kemudian kami sudah sampai di rumah.
“eh ada tamu, permisi om” kata ku spontan dan agak malu malu karena ada cowok seumuran ku yang duduk di samping om Erwin, tampangnya sih lumayan manis. Om Erwin memperkenalkan cowok yang ada disampingnya “perkenalkan ini anak om, dia juga masih kelas 9 sama kayak kamu”. Cowok itu pun mengulurkan  tangannya dan berkata “aku Gilang, kamu?”. “oh.. aku Cindy” jawabku singkat, karena aku tidak terlalu tertarik dengan cowok tersebut.
Setelah lumayan lama berbincang-bincang om Erwin berpamitan pulang. Aku,  ayah dan kak Aldo mengantar sampai di teras rumah.
“waah pasti kirimannya baju buat hari raya” kata ku ke kak Aldo yang sedang membuka kardus kiriman dari Ibu. “iya lah mau apa lagi” sahutnya. Setelah dibuka memang benar isinya baju-baju buat aku dan kak Aldo. Seperti tahun-tahun sebelumnya ibu selalu mengirimkan pakaian saat menjelang hari raya, walaupun aku pernah melarangnya mengirim apapun dari luar negeri karna biayanya yang mahal, tapi dia tetap saja membeli pakaian dan aksesoris dari Hongkong. Sejak aku SD Ibuku memutuskan untuk bekerja sebagai guide di Hongkong. Dulunya Ayahku melarang dan tidak memberinya izin, tapi Ibuku memaksa. Dan akhirnya karena penghasilan Ayah yang pas-pasan dia pun memberi izin Ibu untuk mengambil kontrak kerja selama 3tahun.
Kalau om Erwin, istrinya dia juga bekerja di Hongkong namanya tante Wulan bahkan ibu dan tante Wulan sering pergi bersama saat hari minggu disana.
Biasanya ibu mengirim pakaian atau apapun itu lewat kantor pos, tapi karena istrinya om Erwin sedang cuti ke Indonesia ibu pun menitipkan kirimannya ke tante Wulan. Siang itu tante Wulan tidak ikut mengantarkan titipan Ibu karena dia masih capek, semalem katanya dia baru datang dari Hongkong. Dan om Erwin mengajak anaknya itu untuk membantu membawakan titipan tersebut.
Rumahku sama om Erwin tidak terlalu jauh sih. Mungkin hanya butuh waktu setengah jam untuk menuju ke rumahnya.
***



“Tiing tung..” bel rumah ku berbunyi. “siapa sih ujan ujan gini ganggu orang nonton TV aja” kataku menggerutu sambil menuju pintu depan. “kamu? Ada apa?” Tanya ku ke cowok yang bajunya sedikit basah karena terkena air hujan depan pintu. “eh aku mau pinjem jas hujan” jawab Gilang. “jas ujan?”  karena tidak terlalu jelas aku meminta Gilang untuk mengulang perkataannya. “iya jas ujan, ada ga?”. akupun menjawab “ga ada  ayahku lagi keluar jadi jas ujannya dibawa, masuk aja dulu” aku mempersilahkan masuk dan melebarkan membuka pintu. “silahkan duduk, mau dibikinin minum apa?”. “emm ga usah deh ga usah repot repot aku cuma sebentar kok, cuma nunggu sampai hujannya reda” jawab Gilang. Kami duduk di ruang tamu dan sedikit berbincang bincang. Kata Gilang dia abis beli senar gitar di toko langganannya. Dia bilang kalau dia suka banget sama gitar. Lalu aku juga bercerita kalau aku dulu sering belajar gitar sama kak Aldo. Karena sejak aku naik ke kelas 9 aku dikasih gitar sama tante ku, dan sejak itu aku mulai tertarik untuk belajar gitar. Tapi karena mulai 3bulan yang lalu kak Aldo harus bekerja di luar kota,dan aku ga ada yang ngajarin jadi gitarnya nganggur deh. “mungkin sekarang nadanya udah ga karuan, orang ga pernah dipakek” aku mencoba menjelaskan keadaan gitarku yang ada di pojok kamar. “liat dong gitarnya boleh ga?” Tanya Gilang. “boleh aja  sih sekalian benerin nada nya yaa??” kata ku sambil menuju kamar untuk mengambilkan gitar itu. Aku memberikan gitarku ke Gilang, lalu dia berkata “waw gitar yang bagus”. “apanya yang bagus, kamu ngejek yaa?” sahutku sambil melihat gitar yang memang terlihat agak berdebu itu. Gitar yang dikasih tanteku ini memang kelihatannya gitar tua, modelnya aja masih gitu. Mereknya sih Yamaha, dan kak Aldo juga pernah bilang kalau gitar ini juga bagus. Aku sih ga ngerti ya udah aku nurut aja.
Rupanya hujan sangat menyetujui pertemuan aku sama Gilang, soalnya sudah hampir 1jam hujannya bukan malah reda tapi sebaliknya hujan itu semakin deras mengguyur.
Gilang terlihat sangat mahir bermain gitar, petikannya terdengar sangat indah. Jam menunjukkan pukul 18.00 Gilang berpamitan pulang walaupun masih ada sedikit rintik hujan. Sore itu kami menjadi akrab dan sejak itu Gilang sering main ke rumah ku. Begitu juga aku yang sering ke rumahnya walaupun terkadang hanya untuk meminjam buku chord lagu.
Hampir 1tahun berlalu kami berdua menjadi dua sahabat yang sangat bahagia. Aku sering diajarin main gitar sama dia dan saat ini udah lumayan lah, mungkin aku bisa memainkan beberapa lagu. Tapi sayangnya setelah kami berdua lulus SMP kami tetap tidak satu sekolah, Gilang sekolah di salah satu SMK di dekat rumah nya. Dan aku sekolah di SMA yang jauh dari sekolah Gilang
***
“Cindy rupanya kamu sekarang semakin akrab sama Gilang” kata ibu ditelpon. “iya Bu kami sering belajar gitar bareng” aku menambahkan perkataan Ibu. “waah bagus deh kalau gitu” Ibu melanjutkan perkataannya. “ha? Apa nya yang bagus?” Tanya ku sedikit cuek. “iya Ibu pengen menjodohkan kamu berdua” Ibuku menjelaskan dengan santai. Aku sangat kaget mendengarnya karena sama sekali aku tidak terbayang kalau pacaran sama dia. Sekarang aja kami seperti saudara, bukan pacar. Perbincangan ditelpon itu berakhir. Aku masih sedikit shock dengan perkataan Ibu tadi. Keesokan harinya Gilang ke rumah, dan seperti biasa tanpa sungkan dia menghampiri ku di ruang tengah. Karena kami memang sudah akrab, jadi Gilang pun menganggap rumah ini seperti rumahnya. Kadang dia juga membuat minum sendiri di dapur. Tapi hari itu aku berpandangan beda ke Gilang, aku langsung teringat perkataan Ibu kemaren . “kamu kenapa Cindy? Kok diem aja, lagi patah hati yaa?” tebak Gilang sambil senyum senyum di depan ku. “gak papa kok, aku cuma lagi mikirin tugas hehehe..” jawabku dengan senyum tidak ikhlas. “ah bohong, gak mungkin kamu mikirin tugas sampe bengong kayak gitu.. aduuh jujur aja deh??” Gilang memang tau kebiasaan ku yang jarang mikirin tugas, dia tidak percaya begitu saja dengan perkataanku. “udah deh jangan banyak nanya, mendingan kamu maen gitar sana di ruang tamu” Gilang tidak menghiraukan perkataan ku dan dia malah mengambil remot TV dan memindah-mindah chanelnya. Aku bingung harus gimana , aku juga tidak tahu apakah Gilang mengetahui tentang perjodohan ini atau tidak. Yang jelas sejak itu aku jadi beda sama dia, aku jarang ke rumahnya lagi. Karena aku memang tidak ingin menjalin hubungan yang lebih sama Gilang. Aku menganggapnya sebagai sahabat dan bahkan mungkin dia aku anggap seperti adik ku karena walaupun umurnya dia sedikit lebih tua tapi tingkahnya kadang tidak lebih dewasa dari aku. Begitupun kak Aldo yang menganggap Gilang sebagai adiknya.
***
Seperti biasa saat awal bulan atau tanggal muda kak Aldo selalu pulang ke rumah. Tapi hari itu aku lihat kak Aldo tidak membawa motornya. “kak Aldo, mana motornya?” Tanya ku sambil membuka pintu. “motor ku rusak Cindy, sepertinya aku akan berangkat kerja dari rumah dan sementara meminjam motor kamu” jelasnya. “ya udah ga papa, tapi antar jemput aku kayak dulu lagi ya.?” .. “siip deh” sahut kak Aldo.
Sudah hampir 1bulan aku diantar jemput kak Aldo. Gilang pun jadi jarang ke rumah karena mungkin dia malu sama kak Aldo. Dan juga tujuan sebelumnya Gilang kesini kan buat ngajarin aku main gitar, terus karena sekarang sudah ada kak Aldo jadi aku diajarin sama dia bukan sama Gilang lagi.

Gilang massage:: cindy kenapa kamu ga pernah ke rumah ku?”
Cindy massage:: aku ga ada motor, motorku dipakek terus sama kak Aldo
Gilang massage:: aku kangen sama kamu, aku cinta sama kamu.
Aku sangat kaget membaca sms dari Gilang tadi malam. Aku bingung, apakah Gilang sebenarnya sudah tau tentang perjodohan ini. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati. Sampai 3 hari setelah aku menerima sms dari Gilang, dia pun ke rumah ku. Dan aku langsung menanyakan apa maksud smsnya.
“Gilang apa maksud sms kamu waktu itu” Tanya ku spontan. “sms yang mana sih” jawab Gilang dengan santai. Seperti biasa dia tidak sungkan untuk membuka HP dan melihat sms ku “kok ada sms kayak gini dari aku?” Gilang sepertinya bingung melihat sms nya sendiri. Aku langsung menjawab “ih ya ga tau, kan kamu yang sms gimana sih?”. “owh mungkin ini adik ku yang bales” katanya santai. Apa benar adiknya Gilang yang sms waktu itu. Aku tidak tau jelasnya dan aku terus bertanya-tanya, tapi di depan Gilang seolah-olah aku tidak mempermasalahkan sms itu.
Seiring waktu berlalu kita semakin jauh, aku yang membuat keadaan seperti ini. Aku jadi cuek sama Gilang, tapi tidak dengan Gilang yang tetap seperti dulu. Dalam hati aku selalu berkata “aku tidak mau pacaran sama Gilang, aku hanya menganggapnya sahabat” berkali-kali aku mengatakan itu.
Malam itu aku jadi teringat Gilang, aku pun mencoba memainkan Gitar dan mengingat-ingat beberapa lagu yang sudah diajarkan Gilang untuk menghibur hatiku sendiri.  Keesokan harinya aku memutuskan untuk ke rumah Gilang karena hari minggu jadi ada motor buat kesana.
aku mengetuk pintu rumah Gilang “tok tok tok.. permisi..”. “iya sebentar” sahut seorang laki-laki yang terlihat dari jendela depan rumah Gilang dan dia sedang menuju ke pintu. “Gilangnya ada om” Tanya ku ke orang yang tidak aku kenal, sepertinya dia tetangga Gilang. “adik ga tau kalau Gilang tadi malam kecelakaan?dia sekarang lagi di rumah sakit sama ayahnya, saya disuruh buat jaga rumahnya dia” kata laki-laki paruh baya itu. Aku sangat shock mendengar kabar tersebut “kecelakaan?.. sekarang dia di rumah sakit mana om?”. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke rumah sakit yang disebutkan tetangganya tadi. Dalam perjalanan perasaanku sangat tidak karuan, aku mempercepat laju motor. Dan sesampainya di rumah sakit aku langsung menanyakan nomor kamar Gilang ke resepsionis. “persmisi.. pasien yang bernama Gilang Permana di kamar nomor berapa?” . “maaf anda siapanya?” Tanya orang yang berpakaian suster itu. “saya kakaknya. Cepat antar saya ke  kamar Gilang!” bentak ku dengan raut wajah tergesa-gesa dan khawatir. “oh mari saya antar” jawabnya.
“Gilang.. kok bisa sampai kayak gini?, Om gimana ceritanya?” Tanya ku ke om Erwin yang duduk di samping tempat tidur Gilang. “saya belum tau persis gimana ceritanya Cindy, dari kemarin dia belum siuman yang jelas Gilang kecelakaan di tikungan jalan menuju rumah kamu” Om Erwin mencoba menjelaskan keadaan Gilang. “ya ampun.. Gilang..” tanpa sengaja air mata ku menetes. “terus gimana kata dokter?” Tanya ku ke Om Erwin. “kata dokter kakinya mati rasa dan lumpuh, tulang punggungnya retak dan harus dioperasi” Om Erwin menjelaskan dengan lesu.
Hari semakin larut dan aku pun terpaksa harus pulang. “Om saya pulang dulu.. besok sepulang sekolah saya akan kesini lagi” aku berpamitan dan sedikit merapikan selimut Gilang. “iya Cindy, kamu hati-hati yaa” ..

Keesokan harinya sepulang sekolah aku diantar kak Aldo menuju ke rumah sakit. Aku lihat Gilang sudah siuman, sedikit tenang rasanya. Aku tidak banyak bertanya karena keadaan Gilang yang masih belum stabil. “Gilang ini aku bawakan makanan kesukaan kamu, ntar dimakan yaa.. “ aku meletakkan bungkusan itu di meja. Kak Aldo sama Om Erwin terlihat sedang ngobrol di tempat duduk yang terletak di samping pintu. Gilang sangat lemas “aku lumpuh Cindy”..  aku ingat dia mengatakan itu.

1bulan berlalu akhirnya Gilang boleh dirawat di rumah, dan aku pun tidak perlu ke rumah sakit lagi untuk menjenguknya. Waktu terus berputar setidaknya setiap hari minggu aku selalu ke rumah Gilang, dan dia sangat berubah. Gilang seolah-olah kehilangan keceriaannya, dia lebih sering terlihat ngelamun di kursi roda nya. Dan terkadang Gilang hanya bermain PS atau menyanyikan beberapa lagu dengan gitarnya. Dia punya dua gitar, kata Gilang gitar yang satu itu punya kakak sepupunya. Waktu itu aku pernah minta gitarnya dia walaupun cuma bercanda sih, tapi kelihatannya kalau aku minta gitarnya beneran pasti bakal dikasih. Aku ingat pembicaraan kita siang itu di rumah Gilang “eh kamu punya dua gitar?”. “enggak yang satunya punya kakak sepupu ku” kata Gilang. “owh padahal aku mau minta satu.. hehehe” canda ku. “bawa aja punya ku, ntar aku pakek yang ini aja” katanya dengan santai. Gilang baik banget ke aku, sepertinya dengan mudah ia memberikan barang-barang berharganya ke aku begitu saja.
***

Tiga bulan sudah Gilang menjalani hari-harinya di kursi roda. Dia tidak pernah mengeluh walaupun sebenarnya dia sakit. Tidak seperti biasanya hari itu perut Gilang terlihat sangat kesakitan. Ayah Gilang langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Setelah 3hari dirawat di rumah sakit tersebut, dokter menyarankan untuk merawat Gilang di RS yang lebih besar dan peralatan yang lebih modern. Ayah Gilang pun menuruti perkataan dokter tersebut karena tidak mau hal yang tidak di inginkan terjadi dengan anaknya. Setelah Gilang dipindah ke RS yang lebih besar tersebut dia langsung diperiksa secara intensif dan keesokan harinya dokter menjelaskan hasil rontgen ke Om Erwin. “lambung Gilang bocor seperti bekas terkena jarum suntik, dimana anak bapak sebelumnya dirawat?” dokter bertanya ke Om Erwin. “sebelum anak saya dirawat di RS ini dia dirawat di RS dekat rumah saya dok” jawab Om Erwin. Om Erwin pun tidak tau kenapa saat Gilang disuruh pindah ke RS lain dia tidak mendapat surat rujukan dari RS yang merawat Gilang sebelumnya. Rupanya ini penyebabnya, RS itu sudah melakukan kesalahan yang fatal dan tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas hal tersebut. Om Erwin tidak mau memperpanjang  dengan melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib, dia sekarang hanya memikirkan bagaimana caranya agar Gilang cepat pulih kembali. “lalu bagaimana dok agar Gilang bisa terselamatkan?” Om Erwin mencoba berusaha melakukan apa yang terbaik untuk Gilang. “terpaksa Gilang harus dioperasi secepatnya sebelum lambungnya pecah” saran dokter. “baik dok saya akan melakukan apa saja untuk Gilang, kapan operasi itu akan dilakukan?..”   “bapak harus menandatangani beberapa surat ini” kata dokter. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa om Erwin menyetujui anaknya  untuk dioperasi. “Gilang kamu besok akan dioperasi, kamu harus siap kamu harus kuat nak” sore itu om Erwin memberitahu Gilang yang terbaring lemas di tempat tidur rumah sakit tersebut. “baik ayah ..”  terlihat raut wajah gilang hampir putus asa menerima keadaan.
Hari ini tepatnya jam 16.00 Gilang akan dioperasi. Namun Tuhan berkendak lain, jam 08.00 Gilang menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sangat marah pada diriku sendiri, aku tidak bisa melihat Gilang untuk yang terakhir kalinya. Hari itu tidak ada yang memberi kabar tentang kematian Gilang. Hinggga sore hari saat aku pulang ekstrakurikuler dari sekolah, kak Aldo menjemput aku seperti biasanya. Tapi kali ini raut wajahnya berbeda, dia terlihat sedih. Dalam perjalanan pulang kak Aldo mengatakan apa yang sebenarnya terjadi  “Cindy .. Gilang meninggal”. “apa? Gilang meninggal ?.. gak mungkin, kakak bercanda kan?” aku memang benar-benar tidak percaya dengan perkataan kak Aldo. “aku ga bercanda Cindy.. Gilang meninggal tadi pagi, kalau kamu masih ga percaya sama kakak, telpon aja keluarganya dia”.  Aku langsung mengambil HP yang ada di tasku “halo .. a a apa benar Gilangnya meninggal?”.
“iya kak, kak Cindy cepet kesini ya” terdengar seperti suara adiknya Gilang ditelpon. Air mata  ku ga ada berhentinya mengalir, untung saja saat itu hujan deras mengguyur perjalanan kami, jadi tidak ada yang tahu kalau aku lagi menangis. Sesampainya di rumah aku ganti baju dan langsung menuju ke rumah Gilang. Dalam perjalanan menuju rumah Gilang aku masih berharap saat aku datang aku bisa melihat Gilang. Aku masih tetap tidak percaya, tapi entah kenapa air mata ini seolah mengerti apa yang terjadi. Mulai dari aku pulang ekstrakurikuler sampai perjalanan ke rumah Gilang sudah hampir sampai, aku tidak bisa berhenti menangis. Di gang rumah Gilang  terpasang bendera yang menandakan bendera duka, rumah Gilang ramai orang mengaji. Aku masuk lewat pintu samping dan menanyakan bagaimana kronologi kematian Gilang ke om Erwin. Dia menceritakan semuanya, dan aku tetap berusaha menyembunyikan kesedihan ini. Aku tidak ingin Om Erwin semakin bersedih dengan kedatangan ku, aku mencoba menguatkan Om Erwin dengan berkata “mungkin semua ini sudah takdir Om, Tuhan merencanakan yang terbaik buat Gilang”. Walaupun sebenarnya aku juga masih belum bisa menerima keadaan ini. Selama 1minggu setelah kematian Gilang setiap malam aku hanya bisa memainkan gitar dengan menyanyikan lagu Bondan F2B yang berjudul Rhime In Peace dengan ditemani air mata yang setia ini. Air mata ku sanggup katakan lebih banyak daripada pesan yang disampaikan semua kata.    Aku baru menyadari kalau aku sebenarnya juga cinta sama Gilang, aku baru menyadarinya setelah Gilang tidak lagi ada di dunia ini. Aku sangat merasa bersalah atas kematian Gilang Semua penyesalan ini memang sangat tidak berguna. Tetapi kenyataannya aku cinta sama Gilang. Maafkan aku Gilang, saat itu aku tidak ada disampingmu. Kalau aku diizinkan membalas sms kamu waktu itu aku tidak akan malu aku akan menjawab kalau aku juga cinta sama kamu Gilang. Tapi Cinta ini sudah terlewatkan.
***
“Cindy sudah satu bulan kematian Gilang berlalu tapi kenapa kamu terlihat masih belum bisa menerimanya?” ayah ku datang sambil membawakan secangkir teh. Dengan wajah lesu aku berkata  “ga kok  yah Cindy ga papa Cindy baik-baik saja, ayah tidak perlu khawatir dengan keadaan Cindy” . “satu bulan kedepan Ayah akan bekerja di luar kota, Ayah tidak tega melihat kamu seperti ini Cindy, Ayah berinisiatif bagaimana kalau kamu ikut tante mu di Bali?.. mungkin dengan kamu disana kamu bisa melupakan Gilang”.
“terserah ayah saja, Cindy tidak tahu apa yang harus Cindy lakukan” .

Keesokan harinya aku berpamitan ke rumah Om Erwin. Ternyata sebelum kematian Gilang ia menitipkan gitarnya dan rekaman lagu yang Gilang nyanyikan untuk ku. Judul lagu itu Gitar Kesedihan.
Aku semakin merasa bersalah atas meninggalnya Gilang. Tapi harus apa ketika semua sudah terjadi.

Yang jelas kelas 10 semester 2 aku sudah pindah ke Bali, aku tidak lagi bersekolah di Jawa. Aku didaftarkan di salah satu sekolah yaitu SMAN 3 Denpasar. Sudah 4bulan aku disini, aku hidup dalam keramaian yang sepi. Bayangan Gilang tidak pernah hilang dari pikiranku, dia tetap ada.
Dari pengalaman itu aku dapat mengambil hikmahnya, kita harus jujur dengan perasaan kita, katakan sebelum semuanya terlambat dan menjadi penyesalan yang tak berguna.
Gitar kesedihan
sejuk di dalam hatiku saat ku petik semua senar gitarku.. 
Seperti nada-nada jiwa ku.. 
Isyarat hatiku.. 
Menetes air mataku saat aku nyanyikan semua laguku.. 
Hanya gitar ini temani aku saat ku sendiri.. 
Tak kan pernah hilang di dalam hatiku.. Akan abadi selamanya.. 
Nada-nada cinta ini yang tlah terukir olehnya..
Seperti alunan cinta di dalam hatiku ..
Begitu indah ku dengar saat ku petik senarnya seperti nyanyian gundah.. 

Hanya dengannya aku bisa mengungkapkan semua isi hatiku ..
Meluapkan semua perasaanku.. Dan sakit hatiku.. 

   Dalam gelap ku..                                

Ketika Aku Menati dan Mendapatkannya

“Untuk seluruh anggota Tim Optimasi kelas X dan XI berkumpul sepulang sekolah di ruang pertemuan atas.“ begitulah pengumuman yang disampaikan ketika sebelum pulang sekolah.
Teng……..teng……. Yee…., sorak sorai kawan-kawanku ketika bel berbunyi. ”Aku cari temen-temen yang lainnya dulu ya.” Dengan semangatnya berjalan menuju ke kelas sepuluh-sepuluh lainnya. “yuk kumpul keruang atas.” Beberapa kali ia terlihat bolak-balik keatas dan kebawah. “Wee, tunggu.” Setelah sampainya aku diruang atas aku langsung menduduki kursi paling tengah di depan, biar keliatan. “Aduhh, hatiku sudah tidak sabaran menunggu apa yang akan diumumkan hari ini.” Datanglah pak Kepala Sekolah dan beberapa guru yang mendampingi beliau.
 Cek…cek... “Selamat siang semua, ”Siang, berseru aku berteriak.” sebelum memulai kegiatan kita haturkan panganjali umat Om Swastyastu, dengan wibawa dan sumbringahnya senyum pak Kepala.” Pak kepala sengaja mengumpulkan aku dan kawan-kawanku disini membahas masalah seleksi Olimpiade Sains Nasional Tingkat Kabupaten tahun ini. Aku melirik teman-temanku, memperhatikan raut muka mereka yang berwarna-warni. Ada yang ragu, pucat bahkan ada sampai bersemangat dan bersinergi sekali. “Aku juga salah satunya.” Aku selalu memperhatikan apa yang disampaikan oleh pak Kepala. Seketika aku terdiam dan mengingat masa lalu, bagaimana aku mati-matian berjuang untuk menjadi yang terbaik agar tergabung dalam tim Olimpiade Sains Trisma. “dalam benakku aku berkata, ya tuhan terima kasih engkau telah memberikan yang terbaik dan mengabulkan doa-doaku ini. Aku sangatlah terharu jika aku ingat masa pada sebelum aku masuk tim ini dan harus bersaing dengan sangat ketat melawan seratus orang yang terpilih pada saat itu. Tapi aku yakin aku pasti bisa menjadi salah satunya. “Itu memang benar.”
Seseorang kemudian menyapa ku “we, jangan ngelamun, dengerin apa yang dibilang sama pak-nya” “ia, ia udah kok ni tenang aja.” Tujuan utama aku dan teman-teman dikumpulkan kemari adalah diberikan informasi bahwa seleksi OSN akan dilaksanakan pada bulan April ini.
Pak Kepala Sekolah sudah mewanti-wanti pada kami semua, lakukanlah yang terbaik kepada sekolah ini, kami akan memfasilitasi semua apa yang kalian perlukan nanti, selama kami mampu membantunya. Terdengar dalam benak hatiku, “benar-benar pengorbanan yang sangat besar dan mulia bagi kami, kebanggaan yang sangat besar untuk kita dapat berdiri disini.” Setelah selesai menyapaikan pengumuman, mulailah kita untuk mempersiapkan diri untuk menjalani karantina selama tiga minggu penuh, tak belajar dikelas dan harus fokus pada satu apa yang kita akan pelajari. Astronomi memang bukan pelajaran yang biasa, semua materi mulai dari matematika, fisika, geografi, sampai bahasa inggrispun turut mewarnai penghantarku yang akan ku emban. “Aku tak perlu takut dengan hal-hal seperti itu, dari pada aku mundur lebih baik aku gunakan kesempatan yang baik ini untuk menggali potensi ku lebih dalam, ciaaa ellah, ya ndak apa lah yang penting semangat”.
Ruang perpustakaan adalah kelas belajar kami selama 3 minggu. Teman-teman kelasku juga berkunjung pada waktu istirahat, sambil memberikan semmangat dan motivasi pada ku “thanks ya.” Hari demi hari aku jalani dengan senyum dan pantang menyerah, sesambil membaca dan mempelajari materi bersama kakak kelas ku yang benar-benar baik, sebut saja kak Surya. Ditambah dengan anak perempuan yang bernama Rika.
Guru pendamping kami yaitu bu Dera, bu Yogi, dan pak Adi Sukaryawan selalu mendampngi kami dalam setiap belajar, menanyakan perkembangan kami setelah beberapa hari aku dan semuanya menjalani karantina. Tak sungkan hati aku pun bercerita dan bersapa ria dikala waktuku belajar. Aku belajar sendiri dalam bidang Astronomi ini. Belum ada Dosen, padahal kami sangat menginginkan adanya dosen untuk menfajari nkta. Agar sama dengan beberapa tim lainnya. “Tak apalah, aku masih bisa berbuat yang terbaik untuk diriku.” Aku tak terlalu biasa untuk mengeluh kepada orang lain, menanyakan dosen atau dosen lagi. Kadang kala aku juga merasa berat hati, kenap kami tidak dicarikan dosen?. “Bukannya kami manja menjadi orang, tapi karena mata pelajarannya yang harus menuntut. Setidaknya ada dosenlah yang mengajari.“ suatu ketika aku membaca sebuah buku yang ada di perpustakaan tentang perjalanan OSN 2010, aku menggenggam buku itu kesana-kemari, membaca dan melihat apa yang sebenarnya mereka dapatkan, dan lakukan.
Mataku tertuju pada sebuah halaman yang dimana sebagai peraih mendali Emas OSN 2011 bidang astronomi. Perempuan yang hidup dengan kesederhanaan berbekal buku, dan laptop membuat ia menjadi sukses. Walaupun dia hanya seorang yang sangat tidak mampu. “Aku merasakan apa yang sebenarnya dia rasakan, dia belajar mandiri sedangkan aku nungkin terlau menanti-nanti kehadiran dosen untuk mengajari kami.”
Satu minggu lebih sebelum seleksi ini akan diadakan akhirnya kami diajak untuk belajar di Singaraja. “Waow, ya Tuhan terima kasih, akhirnya kami sudah dapat belajar bersama dosen. Diriku sendiri sudah tidak bisa memendam rasa senang ku ini. Bagaimana lagi, Ya Tuhan terima kasih.” Aku sangat bersemanagt sekali untuk belajar bersama dosen, aku sudah lama menatikan hari-hari seperti ini. Akhirnya aku, teman-temanku dan kakak-kakakku didampngi bu Yogi serta restu dari orang tua dan Kepala sekolah mengiringi kami sampai ditempat tujuan dengan selamat.
Hari pertama kami pun bersama berangkat munuju kampus menggunakan angkutan umum. Sambil mendengar kata kata yang taka sing lagi buat kita agar tidak jenuh “Tomcat-tomcat.” Ketawa cekikan mengiringi udara pagi yang tenang. Sampai di kampus hatiku sudah merasa tidak sabaran lagi untuk diajari oleh dosen. “Ayo, cepatlah, kenapa lam sekalil aku sudah tidak sabaran.” Tepat pukul 09.00 aku dan yang lainya diberika pengarahan untuk jadwal pembinaan. “tentunya diriku tidak melewatkan segentil kata yang terucapkan.”
Mulai kami diajari oleh pak dosen. Pertama-tama, semangatku dan gairahku belajar sangatlah tinggi. Tapi setelah beberpa waktu berlalu aku mulai bosan dengan metode belajar dan materi yang akan di bahas. “ aduhh, kok ini ya materi yang dikasi, jauh dari harapanku yang semula, padahal materi ini sudahlah awal sekali aku pelajari, tapi kok ini lagi.” Aku masih mengharga kok apa yang diberikan oleh pak dosen. Tapi selam kami dikarantina, metode belajarnya masih juga sanagt monotone dan membuat kurang bagiku. Aku berpikir dalam diriku, “Ketika aku belum mendapatkan yang kuinginkan, aku berusaha untuk mencarinya dan memintanya, tapi setelah aku mendapatkannya aku belum merasa puas apa yang telah aku dapatkan. Bukannya aku tidak menghargai.” Tapi setelah aku berpikir lebih jauh, aku mendapatkan sesuatu yang benar berharga yang dapat ku terapkan kedepannya yang bukan hanya bergantung saja pada orang lain. Tetap Semangat!.

yang pertama, yang tak terlupakan

“Aku takut, kabut ini suatu saat akan membawamu pergi jauh dariku”
“Kenapa kau berkata seperti itu sayang?  Tenang saja aku akan selalu ada di sisimu”
Ya, kata-kata itu yang selalu menghiasi bunga tidurku. Sudah 2 tahun itu menjadi suatu kebiasaan di kehidupanku.  Mengalir tiada ujungnya, mungkin sampai kematian menghampiriku. Sampai-sampai semua ingatanku meledak kembali dan seakan aku sedang melakukan semua aktifitas yang pernah ku lakukan sebelumnya.
Hari itu Jumat yang cerah pada September 2008. Pertama kali aku berjumpa Mike atau Michael kekasih tragisku itu. Dia datang ke sekolahku, untuk menjemput sepupunya yang kebetulan kakak kelasku. “Dik, kelas berapa? Kelas 3 nya sudah pulang belum?”, tanya Mike dengan senyumnya yang sangat manis. “Oh kelas 1 kak, mungkin lagi kerja kelompok, setau saya kelas 2 udah pada pulang”, jawabku. “Thanks ya, namanya siapa dik?”, “Chatty”, sautku dengan raut wajah yang memerah. “Nama yang bagus, aku Michael panggil Mike saja boleh kok.”, tungkasnya. Perkenalan yang singkat, dia pun pamitan pulang karena sepupunya sudah datang menghampirinya. Dan aku membalasnya dengan lambaian tangan dan senyuman.
Pertemuan yang kedua, kiranya itu hari sekolah terakhir di bulan September juga. Dia tersenyum ke arahku, dan duduk menemaniku. “Hai cantik, apa kabar?”, “Hai juga, mike. Kabarku yah gini seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik kok”. Yah lumayanlah sekedar basa basi sambil menunggu jemputan ayah. Tapi hari itu dia kelihatan lebih berani dan tak malu meminta emailku. Setelah itu kita saling mengirim email, dia menanyakan segala sesuatu tentangku, mulai dari tanggal lahirku sampai apa hal yang paling aku sukai. Itulah masa penjajakan yang ku jalani sekitar 3 bulan lamanya.
Dan akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu tiba. Saat liburan semester, Desember 2008 dia memberanikan diri berkunjung ke rumahku, katanya sih sekedar ingin mengenal keluargaku. Dia datang ke rumah membawa sedikit bingkisan untuk mama. Sampai dirumah, dia aku kenalkan pada semua orang yang ada dirumah. Sekitar 2 jam lamanya dia mengobrol dengan aku, ayah dan ibuku. Karena alasan akan kuliah, dia meminta ijin pulang kepada orangtuaku.
Betapa kagetnya aku, dia menyatakan cintanya tepat disaat aku menghantarnya ke depan rumah tempat mobilnya diparkir. Dengan serangkai bunga mawar putih, dia melakukan hal nekat itu di jalan depan rumahku yang saat itu sedang hiruk pikuk lalu lintasnya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menjawab, “Ya, mike. Aku mau membawamu ke dalam hidupku.” Mendengar kata-kataku itu Mikespontan saja memelukku dengan erat seakan-akan tak pernah ingin meninggalkanku sendiri.
Mulai saat itu, hari-hariku diikuti dengan kebahagiaan karena dia. Kita sering bertemu kapanpun disaat kerinduan yang amat sangat menusuk jiwa. Dia adalah sesosok lelaki yang slalu mengganggap wanita terutama aku, seseorang yang harus dihormatinya seperti dia menghormati ibunya. Sedikitpun dia tidak pernah membuat aku kecewa, bahkan menangis pun tak pernah ku rasakan saat menjalin kasih dengannya. Dia hanya melindungi, menghormati dan mencintaiku. Mungkin pada saat itu dia sudah menganggapku sebagai istrinya. Hal itu kujalani dengannya sampai ±14 bulan, namun itu semua berakhir dengan kecelakaan tragis yang merenggutnya.
Dan hari yang slalu ku takutkan itu datang, bulan Februari, sehari sebelum hari kasih sayang (Valentine Day), hari itu diluar sedang hujan deras. Aku bertengkar dengan mike karena alasan yang sangat konyol, hanya karena postingan mantan kekasihnya di akun friendster milik mike. Entah kenapa, kekonyolan itu menjurus ke dalam sebuah pertengkaran yang tidak pernah ku alami sebelumnya dalam hubungan kita. Karena sedang emosi, aku mematikan handphoneku. Dia telepon ke rumah tapi aku tetap tidak mau menjawabnya. Mungkin karena ingin memastikan kalau aku baik-baik saja, mike datang ke rumahku walaupun pada saat itu dia sedang sakit dan seingatku mobilnya dalam keadaan rusak.
Pada saat itu, aku langsung panik dan perasaanku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Benar saja, setelah 30 menit aku menunggu, dia tak kunjung datang juga. Padahal rumahnya masih di seputaran Denpasar. Aku menelepon ke rumah Mike, mamanya juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Tanpa pikir panjang, aku bersama mama, berinisiatif menyusuri jalan dari arah rumahku sampai rumah Mike di daerah Gatsu.
Sampailah, aku di sebuah perempatan jalan yang saat itu ada kerumunan orang, sepertinya ada kecelakaan bisikku dalam hati, aku meminta mama mendekat kesana agar aku bisa melihat apa yang sebetulnya terjadi. Begitu syok dan hampir pingsan rasanya, setelah melihat mobil mungil berwarna hitam. Ya, itu mobil kesayangan mike. Tidak ku hiraukan derasnya hujan, aku memaksakan diri keluar untuk melihat keadaan mike. Mike, kekasih tercintaku, mengalami kecelakaan parah dengan sebuah truk bermuatan pasir. Dengan keadaan lemas sambil menitikkan air mata, aku memeluk Mike di pangkuanku. Aku mencoba untuk menyadarkan dia. Ambulance yang ditelepon warga sekitar datang. Dengan segera aku mengangkat Mike, anehnya mengapa tubuh Mike begitu ringan pada saat itu, didalam Ambulance aku terus memohon, berdoa kepada Tuhan agar Mike selamat.
Sirine Ambulance begitu keras berbunyi, menembus kemacetan dan banjir yang ada di Denpasar, di tengah hujan deras kala itu.
          Namun, takdir berkata lain. Di perjalan Mike menghembuskan nafas terakhirnya. Aku membisikkan mantram gayatri di telinganya, perawat tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sambil menangis, aku memeluk tubuh Mike yang sudah kaku terdiam tidak bernyawa. Aku masih tidak menyangka dia akan meninggalkanku begitu cepatnya. Mama hanya tersenyum, mencoba menghiburku.
          Singkat cerita, Mike adalah seorang blesteran Indonesia-Swiss. Karena permintaan Ibunya, jenasah Mike dikebumikan di kota kelahirannya Zurich, Swiss. Keputusan itu sangat ku sayangkan, aku tidak dapat mengikuti proses pemakamannya. Aku menyesal, merasa bersalah. Andai aku bisa mengulang waktu takkan melakukan hal konyol itu. Andai Mike dimakamkan disini, mungkin setiap minggu aku akan membawakan bunga mawar putih untuk menghiasi kuburnya dan mendoakan agar dia mendapatkan tempat terbaik disisiNya.
Anehnya, berhari-hari aku menulis cerpen ini, dini harinya sekitar pukul 00.30 aku merasa Mike sedang berada di sisiku, bulu kudukku merinding tiba-tiba dan membuatku terbangun. Bukan hanya itu saja, setiap aku menangis mengingat dia dan menginginkan dia datang di sini, pasti dia hadir di alam mimpiku. Namun, berkat kejadian tragis yang menimpaku, aku tersadar bahwa “sebuah permasalahan dapat diselesaikan secara baik-baik, bukan dengan emosi yang mengakibatkan kesalahan yang sangat fatal”.

Aku Dipermalukan

        Hawa sejuk di pagi hari telah membangunkan Dinda dari tidurnya yang lelap. Segera saja dia alihkan pandangannya menuju jam dinding yang tengah menunjukan pukul 05.30, yang artinya sudah saatnya untuk mandi dan bergegas ke sekolah. Tak terasa sejuknya pagi telah menyatu dengan hangatnya sang mentari yang dengan lembut memancarkan cahayanya, tak lupa Dinda berpamitan kepada orang tuanya lalu dengan segera berangkat menuju sekolah yang kurang lebih hanya sekitar 400 meter dari rumahnya.
    Dinginnya pagi sama sekali tak terasa di hari itu bagi Dinda yang tengah gembira mengenakan  pakaian batik berlengan panjang dengan rambut panjang tanpa poni yang dijalin dengan rapi menghiasi kepalanya yang bulat. Dijalaninya pagi itu dengan penuh senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Tak terasa jam pelajaran pertamapun segera dimulai. “Sungguh hari yang sangat menyenangkan”, ujar Dinda dalam hati.
                        Waktu terus berputar dan akhirnya bel tanda pulang sekolahpun dibunyikan. Seluruh siswa berhamburan keluar tuk segera pulang ke rumah, hal ini tidak berlaku bagi Dinda yang disiang hari itu memiliki tugas membersihkan taman mawar beserta teman-teman satu ekstranya di sekolah. Setelah beberapa menit menghabiskan waktu untuk piket, akhirnya Dinda memutuskan untuk duduk dan bersenda gurau dengan temannya di bangku kosong dekat taman mawar. Tanpa disadari datang seorang laki-laki dengan sebuah pulpen di tangan kanannya dan selembar kertas berwarna pucat menghiasi tangan kirinya menyapa Dinda dan temannya.
“Hai teman-teman….”, sapa Rawi dengan senyumannya yang lebar.
“Hai….. ada perlu apa?”, jawab Dinda.
“Mau nggak bantuin aku buat jadi peserta penghijauan besok di Pegulikan?”, tanya Rawi pada Dinda.
“Tapi aku bukan anggota pecinta lingkungan memangnya boleh ikutan?”, tungkas Dinda.
“Boleh kok teman-temanmu yang lain juga ikut kok, tolong ya.. besok kamu gak usah dah ikut kegiatan yang ada di sekolah nanti aku juga yang bakalan ngurusin surat dispen untukmu… mau ya soalnya kurang lagi satu orang aja? Gimana?”, dengan wajah sedikit memelas melihat Dinda.
“Memangnya tempatnya gak jauh? Kalau ada yang bonceng baru aku mau ikutan”, kata Dinda.
“Gak kok tempatnya gak jauh, ntar aku suruh dah teman yang lain biar mau bonceng kamu. Tolong dong aku sudah dimintai namanya nih sama kak Suara, Ketua Organisasi Siswa”, kata Rawi dengan sangat memohon.
“Kalau gitu boleh deh… kasian juga kamu sudah nyari orang kemana-mana”, kata Dinda.
“Oya teman-teman yang ikut kesana itu Yani, Citra, Tika, Febri sama kamu ya… ingat besok sebelum kesana kumpul dulu di sekolah, untuk pengumuman yang lebih lanjut ntar aku sms ke kalian semua ya… Makasi banyak atas bantuannya”, kata Rawi
“Yoa…sama-sama”, kata Yani, Citra, Tika, Febri, dan Dinda berbarengan.
                        Setelah itu, merekapun langsung berpamitan dan bergegas menuju rumah masing-masing. Siang itu udara terasa begitu panas yang membangkitkan kehausan yang tak tertahankan. Kehausan itu akhirnya hilang dengan siraman es jeruk yang begitu menyegarkan. Mentaripun telah berganti menjadi indahnya pancaran rembulan ditaburi beribu butiran bintang yang menghiasai gelapnya malam. Sekitar pukul 9 malam terdengar nada sms masuk dari handphone Dinda yang ternyata berasal dari Febri yang mengabarkan bahwa untuk kegiatan penghijauan besok semua teman-temannya yang mewakili sekolah diharapkan untuk mengenakan pakaian identitas sekolah dengan celana pendek bebas serta sandal. Sebelum ke tempat penghijauan terlebih dahulu harus kumpul di sekolah pada pukul 06.00 dan sudah berangkat pada pukul 06.30.
                        Keesokan paginya Dinda sudah siap ke sekolah dengan pakaian yang telah ditentukan. Berhubung hari ini merupakan hari purnama seluruh siswa di sekolah mengenakan pakaian adat persembahyangan dengan membawa peralatan sembahnyang dan peralatan untuk mengikuti kegiatan budaya. Sesampainya di sekolah seluruh teman-teman Dinda ternyata telah berkumpul dan siap untuk berangkat menuju lokasi penghijauan. Tapi, tak seorangpun dari mereka yang tau tempat penghijauan yang akan diselenggarakan, jadi dengan sangat terpaksa mereka harus menunggu Rawi atau Kakak Organisasi Siswa yang berwenang. Detik berganti menit dan akhirnyapun menit berganti jam, seluruh teman-teman Dinda yang ke sekolah dengan pakaian adat datang silih berganti. Rasa malupun mulai dirasakan Dinda beserta keempat temannya, bagaimana tidak sungguh aneh rasanya menyaksikan lima orang siswa dengan pakaian dan celana bebas di hari purnama yang enah akan mau pergi kemana.                
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Rawi datang dengan pakaian adat sembahyang menghampiri mereka.
“Rawi beneran sekarang ada kegiatan penghijauan yang diadakan sama Panitia Lingkungannya?”, tanya Febri dengan jengkel kepada Rawi.
“Beneran kok… ada”, kata Rawi.
“Trus dimana tempatnya? Ada gak guru yang mendampingi kita kesana?”, tanya Febri.
“O… tunggu bentar ya.. aku tanyain dulu sama kakak Pengurus Siswanya”, kata Rawi.
                        Dengan meninggalkan senyuman Rawi pergi begitu saja meninggalkan Dinda beserta dengan teman-temannya yang dengan penuh malu mengenakan pakaian bebas di sekolah.
                        Akhirnya Rawi datang dengan mengabarkan kepada Dinda dan teman-temannya bahwa mereka disarankan untuk langsung ke tempat penghijauan tanpa guru pendamping ataupun Kak Suara selaku Ketua Organisasi Siswa. Dengan penuh semangat yang menutupi rasa malu, mereka langkahkan kaki menuju parkiran untuk segeran berangkat, namun sayang ternyata setelah bertemu dengan Kak Ika salah seorang pengurus Organisasi mereka semua disarankan lagi untuk menunggu demi kejelasan informasi yang dimaksudkan. Sungguh hari dengan beribu tanda tanya pikir Dinda kesal. Bagaikan sebuah bola pingpong yang sedang dimankan dan ditendang kesana kemari rasanya.
                        Dengan penuh sabar mereka kembali menunggu, lalu diantara gerumunan siswa, terlihat sesosok laki-laki yang sejak dari tadi mereka tunggu yaitu Kak Suara. Saat Kak Suara melewati ruang guru, Bu Indah, selaku guru Pembina memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai kejelasa kegiatan penghijauan yang Dinda dan teman-temannya akan lakukan. Tapi, bukanya jawaban yang keluar dari mulutnya melainkan sebuah sindiran yang menyatakan bahwa mereka sudah terlambat untuk menghadiri kegiatan tersebut. Sungguh sebuah pernyataan yang mengecewakan dan tidak diharapkan oleh Dinda keluar dari mulut seorang yang sangat dia kagumi.
Dalam hati Dinda terus saja bertanya, dan semakin bertanya bagaimana mungkin seorang yang seharusnya dapat mengayominya ternyata merupakan seorang dengan topeng yang entah apa bersembunyi di dalamnya. Kekesalan dan kemarahan bercampur menjadi sebuah asap tebal yang menyesakan Dinda, sekejap Dinda merasa sangat dipermalukan dan dipermainkan. Namun, rasa itu hilang seiring dengan berjalannya waktu dan akan tetap dikenangnya sebagai sebuah pengalaman hidup yang mengajarkannya untuk bisa lebih baik lagi dalam menjalani hidup ini.

Kuingin Kau Tau

R
asa sayangku padamu. Tanpa syarat. Tanpa ibarat. Hanya mengikat....
Aku melihatnya dalam mimpi, mengeja keberadaannya dalam imajinasi, lalu mengabadikannya dalam hati. Memandang diriku sendiri, aku melihat sebuah kesedihan. Kesedihan yang teramat dalam. Dalam sekali kamu tusukkan beribu – ribu rasa penat, takut, sesal, juga benci. Benci yang menjadikan kamu hanya sebagai kekasih imajiner, kamu hanya kamu, dan selalu kamu, tanpa suatu kebisingan. Haha, “aku menderita karena menggilainya” jeritku sendiri, pecahkan sepi namun dalam hati. BENAR – BENAR MENGGILAINYA. Hari ini sekelam dan sangat kelabu seperti hati ini. Entah kenapa , semenjak pagi dia ngirim BBM hanya berkata “Ia!” dengan tanda seru itu, yang tidak seperti biasanya, kata “Ia!” itu dijawab untuk BBM”ku semalam, yang menanyakan sedang apa dia” L sedih rasanya. “hhaa, naif  kalo aku bohong, tapi nyatanya, aku nggak ngerti sama sikapnya. Entahlah inikah yang bisa disebut “labil” atau adakah sesuatu terjadi padanya? “pertanyaan itu menggeliat terus menerus dihatiku” sampai tiba di kampus. Duduk di perpustakaan, yang biasanya ditemani “Wira.” Namun kini aku hanya ditemani bangku – bangku senyap itu, hingga suara tendangan yang gubrak menyadarkanku dari ilusi tadi “Astagaa, nak pelan – pelan ingat ini perpustakaan, seru Ibu Penjaga Perpus yang gendut, sangar, penjaga abadi PERPUS kampus kami. “maaf – maaf bu, terdengar suara berat yang familiar itu, yaap itu “Agung”. Dia adalah salah satu temen gokilku, hahahaa. Kocak , di emang langganan buat dimarahin di perpustakaan, gara – gara ulahnya yang selalu dan selalu membuat gaduh. Tapi, dibalik itu semua, dia orang yang pintar, dia juga bisa buat aku ketawa dengan cerita bodoh dan galaunya. Hey Gitaaaa si cewe kece, apa kabar? Bagaimana rasa kopimu hari ini? “katanyaa gaduh” “Goshh, uuhh. Diem gung, kamu tu. Ributt! “kataku gemas.” Maklum saja agung yang gaduh penyuka raditya dika dan suka banget kepo masalah tweetsnya, jadi dia mengidentifikasi setiap kata dan kekocakannya. “Ahahaha, nah aku tau nih yag lagi bete, kamu tu yaa, ngambil – ngambil jatah galau aku” “gelitik Agung, sembari duduk didepan mataku.” Apaan sih , Gung! Aku bilang diem , ya diem ! “bentakku , entah kenapa semenjak pagi tadi, labilku mulai kambuh lagi, dan tak terbendung lagi.” Seketika, ruang perpustakaan yang mulanya gaduh, langsung senyap. Itu kurasa lebih baik, moodku mulai hancur. “kataku dalam hati, maaf gung.” Ingin ku katakan namun, tertahan.
Harapanku, mengertilah aku kini. Agung mengangguk, “seolah mengetahui kata hatiku tadi.” Keep calm taa, aku ngerti J tenang aja, “kata Agung manis, sambil mengambil Kamus Dorlandnya.” Eemm, iya “hanya itu yang mampu ku jawab.” Kami sibuk sendiri, sepertinya itu lebih baik. Sampai penjaga perpusatakaan, menepuk bahuku sambil berkata “Nak, sudah sore, mau kami tutup.” “Oh iya – iya bu. Kataku tersenyum merasa moodku sedikit lebih baik.” “yuk gung, bisikku pada Agung. “Yuk Taa”, katanyaa sembari merapikan buku – bukunya. Singkat cerita, kita hanya diem – dieman sampai di parkiran kampus, sampai Agung berkata “Ta, nanti malam aku tunggu di Cafe biasa.” Tapi... “Gak ada tapi Taa, kamu akan tau nanti” kata Agung sebelum aku melanjutkan kalimat tapi itu. “Iya gung, emm” kataku sendu. Kami pulang , mengakhiri sore sendu nan kelam ini. Sampai di rumah, aku hanya bisa terdiam melihat BB, sepi sepi. Tanpa senyuman Wira, “ga seperti biasa yaa kamu sepi dan murung gini” menggumam sendiri seperti orang gila berkata pada hp terindahku. Sampai BBM berbunyi, tersenyum sembari berharap itu Wira dengan senyuman indahnya, tapi.. ternyata si miniatur bang raditya dika yang bbm “cepet nak, no ngaret! J” haha. Dan dengan berat hati, aku siap – siap. Lalu mengirimi anak bagong nan kece itu BBM , “Gung, aku on the way!” Sesampainya, di cafe itu, ternyata seperti dugaanku, malam minggu ini penuh sesak dengan pasangan – pasangan, cafe ini tak seperti biasanya. Hahaa, jadilah aku seorang pecundang, naif menunggu kambing itu disini. Hingga jam 9 malam aku menunggu, sudah 3 gelas milkshake coklat. Sampai seseorang datang, dan dia adalah Wira J. Hhhhh. Aku hanya bisa bernafas pelan, tanpa sepatah kata pun, melihat cowo manis nan tampan berkacamata itu didepanku.
“Hai Taa” katanya halus, “aku boleh duduk disini?” dilanjutkannya. (aku hanya menggangguk sendu), “hmm, dingin yaa?” tanyanya. “Hmm, iyaa wir.” Wir.. Taaa. (oh, suasana menjadi semakin tegang, kami bersamaan memanggil nama masing – masing). “Taa, maafin aku yaa” ucapnya. “Maaf buat apa wir?” jawabku tegang. Hmm, dia terdiam lama. “Ta, jangan pura – pura nggak tau, dan merasa baik – baik aja, aku tau Ta, agung udah cerita semua.” Percakapan terhenti sampai disana. “Hem” hanya itu jawabku. Lalu pergi, seakan tak menghargai keadaan.
Seminggu berlalu, yak keadaan menjadi memburuk sejak hal itu. Kami bertemu tanpa komunikasi, dalam hal nyata maupun di dunia maya. Mungkin itu yang terbaik. Karena disisi lain aku merasa, keadaan kami bersama hanya menyapa disaat ia membutuhkanku, bukan disaat kami saling melengkapi. Bukankah terasa berat di satu pihak? Ya, ada kalanya memang kamu harus menyampaikan selamat tinggal pada hal terindah yang pernah kamu kenal. Satu pesanku Wira, jangan trauma pada masa lalumu, masih banyak kesempatan di masa depanmu. Bersikaplah menjadi dewasa, dan tetaplah seperti yang aku kenal. Salam hangat teman. (haha, petikan yang ingin ku sampaikan padamu Wira Adiswara).
Kita tak pernah tau apa yag akan terjadi esok, bahkan 1 menit kedepan. Maka hargailah, sayangilah yang ada didepan matamu. Sampai detik berhenti dan ia harus beranjak. Marilah kita menambah kawan dan tak memperburuk suasana.

Radit dan Ratih

A
ku melangkah gontai menuju kelas yang aku tak tahu dimana. Hari pertama di sekolah baruku membuatku tersiksa. Baju besar, rok panjang, rambut dijalin, dan sekolah pagi-pagi buta pun harus aku jalani. Sungguh sangat menyiksaku. Selain itu, atmosfer yang berbeda membuatku sedikit tertekan. Belum lagi MOS yang beberapa hari lalu aku jalani, membuatku tersiksa. Teriakan PanMOS masih terngiang ditelingaku dan membuat aku risih.
Tidak ada yang aku kenal, tidak ada yang bisa ku ajak bicara. Aku bingung harus bagaimana, aku bingung harus berbicara dengan siapa. Aku hanya mengenal beberapa pasang mata saja, orang-orang yang dulunya aku ajak bersekolah di sekolah yang sama.
Hari demi hari berlalu hingga akhirnya aku mengenal bagaimana dan apa yang seharusnya aku lakukan di sekolah baruku. Kepada siapa aku harus sopan, kepada siapa aku harus membangkang, dan kepada siapa aku harus menyapa di setiap aku bertemu sepasang mata.
Peraturan yang terikat dan mengikat siapa saja yang bersekolah di sini. Ku jalani hari-hariku yang ku anggap angin lalu. Hingga akhirnya aku tidak tersiksa lagi dengan baju besar yang membelitku, rok panjang yang selalu robek ‘saking kabet’nya, dan ku biarkan rambut indahku keriting begitu saja karena setiap hari aku harus menjalin rambutku, dan bila tidak, nyawaku akan terancam dari serigala-serigala yang akan menghancurkanku hingga remuk. Siapa peduli? Ngga ada seorangpun yang akan peduli. Dan biarkan saja, yang penting aku mematuhi peraturan di sekolah ini. “Aku Cuma adik kelas yang ngga tau apa-apa” pikirku.
***
Hari itu, aku tak menyangka Radit diangkat sebagai ORGANISASI DI SEKOLAH. Aku terkesima melihat pesona yang terpancar dari wajahnya. Dan aku tidak tahu mengapa dia bisa menjadi ORGANISASI DI SEKOLAH, padahal cowok yang terkenal pendiam dan polos tersebut, menurutku tak pantas untuk menjadi “serigala” seperti itu. “Ganteng” gumamku. Aku terus menatap seseorang yang kini berada tepat didepanku. Berbaris pada barisan depan kini membuatku merasa nyaman.

Aku menyukai Radit sudah sejak lama, bukan pada saat pertama kali bertemu di SMA, tetapi pertama kali bertemu saat aku melihatnya melintas begitu saja dihadapanku, saat aku masuk SMP tentunya.
Sudah empat tahun aku memendam perasaan ini, tak pernah aku sedikitpun mengungkapkan pada semua orang, dan pada Radit tentunya. Ku simpan perasaan ini rapat-rapat, yang tahu hanya diriku dan Tuhan saja. Namun, kurasakan Radit menangkap sinyal-sinyal yang aku berikan untuknya. Mungkin ini perasaanku saja. Ngga mungkin Radit juga suka sama aku. Mungkin aku yang ke-geer-an, pikirku.
***
Aku menatap akun Facebook itu gamang. Aku tak tahu bagaimana hingga akhirnya aku menitikan air mata di depan meja kecil di kamarku. Laptopku hanya diam bergeming dan tak  tahu harus berkata apa. Aku bingung, sangat-sangat bingung. Kulihat status Radit, berpacaran dengan Vania Adinda. Hatiku remuk seketika itu, kuputuskan untuk tidak menyukainya untuk detik ini dan seterusnya.

Aku menjalani hari-hariku seperti biasa dan tak bermakna, memaksa untuk melangkah dan menapaki hari-hariku yang kelam. Beberapa bulan berselang, Radit menghampiriku dan tidak membawa “antek-antek” yang selalu menemaninya. Aku terheran-heran. Bingung, dia menghampiriku dan mencekik tanganku. Cekikan itu membuat tanganku terasa sangatlah sakit, dan terasa mati rasa seketika itu. Sekolah begitu sepi, maklum senja sudah menyapaku. Untunglah, hari ini ada beberapa hal yang harus ku kerjakan dan memaksaku untuk tetap tinggal.
Terpaksa aku mengikuti langkah cepat Radit. Hingga akhirnya langkah itu berhenti pada suatu tempat. Di sudut kelas, aku duduk sambil menunduk. Entah apa yang akan aku alami, sungguh aku tak peduli.
“Nama kamu Ratih kan?,” tanyanya lembut. Aku tak percaya, Radit yang selama ini aku juluki salah satu ‘serigala’ itu ternyata berhati hello kitty. “Iya,” jawabku masih terus menunduk.
“Jangan terus nunduk seperti itu dong, biasain aja sama aku,” katanya lagi. Aku tak kuasa melihatnya. Dan perasaan yang lama itu muncul lagi. Dan masih sama seperti yang dulu.
***
Setelah pertemuan itu, Radit terus saja menghubungiku. Dan seperti biasa, saat aku sampai sore di sekolah, dia kembali mencegatku. Tak jarang dia mengantarkanku pulang. Dan kami berpisah di ujung gang sekolah.
Ternyata eh ternyata, Radit suka padaku. Itu terlihat saat dia ingin bertemu denganku sore itu. “Hai..” sapanya ramah. Aku hanya tersenyum malu. “Kenapa Kakak nyuruh adik kesini?,” tanyaku akhirnya saat aku merasakan suasana yang tak biasa. Hmm… gumamnya. Aku hanya krik.krik melihat tingkah anehnya.
Radit menghampiriku. Kurasakan tubuhnya kini menghimpitku. Aku tak bisa berbuat apa. Aku hanya diam dan melihat apa yang akan dilakukan Radit padaku. Aku ingin menonjoknya bila dia akan berbuat tidak senonoh padaku. “Ratih, kamu tahu ngga?,” tanyanya yang aku sahut dengan gelengan ringan.
“Aku suka sama kamu, udah dari dulu,” kata Radit akhirnya, setelah itu ia hanya bisa diam mematung. “Terus Kak Vania kemana?,” tanyaku akhirnya dengan tampang terheran-heran.
“Aku sudah lama putus sama dia. Jujur, aku ngga nyaman pacaran sama Vania. Dan ketika melihatmu waktu itu, aku kembali teringat kenangan pertama saat melihatmu. Sedang tertawa bersama teman-temanmu di taman dahulu. Saat melihatmu aku seakan merasakan kamu itu begitu istimewa. Dan saat kamu mencoba melirikku, aku tersenyum. Walaupun kamu tak melihat senyuman itu. Kamu sangatlah istimewa. Aku tak pernah jatuh cinta sama siapapun, termasuk pacarku terdahulu, kecuali sama kamu..”
            “Aku tahu itu,” potongku akhirnya. Aku kini gelisah.
            “Kamu mau ngga jadi pacar aku?,” tembaknya tiba-tiba. Aku hanya bisa mengangguk dan Radit memelukku. Erat sekali.
***
            Radit selalu tersenyum saat melihatku. Aku merasakan serigala-serigala itu kini memusuhiku. Aku tak mengerti apa salahku. Hingga akhirnya aku mengetahui sesuatu hal yang membuat aku resah, dari Radit tentunya.
            “Maaf ya. Atas perlakuan teman-temanku selama ini. Aku ngga tahu harus bilang apa. Mereka tahu kalau kita sudah pacaran. Aku juga ngga tahu mereka tahunya darimana. Dan aku Cuma ingin bilang sama kamu, kalau besok kamu harus berhadapan langsung dengan teman-temanku. Aku akan berusaha keras untuk membelamu. Tapi aku ngga yakin mereka akan mengerti dengan perasaanku padamu,” celotehnya yang membuatku kini menangis dipelukannya.

            Kini tiba saatnya aku untuk dieksekusi. Oleh serigala-serigala yang lapar. Dan mangsanya itu aku tentunya. Aku sudah siap fisik maupun mental. Menantang tatapan buas yang siap menerkamku. Dan ku lihat Vania juga ikut. Radit dimana? Pikirku.
            Aku disuruh menutup mata. “Puas loe udah ngambil pacar gue? Puas loe udah bikin perasaan gue hancur? Udah ngerasa hebat loe?,” teriak seseorang yang aku yakini itu Vania.
            “Udah ngerasa hebat kamu putri? Pacaran sama ORGANISASI DI SEKOLAH. Udah ngerasa hebat kamu?,” pertanyaan itu bertubi-tubi menyerangku.
            Aku hanya bisa diam. Dan tidak bisa berkata apa-apa. Aku diam, ingin mencari pertolongan. Namun disaat genting seperti ini, siapa yang akan menolongku? Aku hanya diam. Terus diam. Aku tak tahu apa yang dikatakan oleh serigala-serigala itu. Aku hanya menganggap mereka angin lalu.
            “Kalian semua ngga usah nyalahin dia, aku yang salah. Aku yang salah. Kenapa aku harus jatuh cinta dengan orang seperti dia? Kalian semua tahu kan cinta itu datang kapan dan dimana saja. Cinta itu ngga memihak, entah Aku harus jatuh cinta sama adik kelas, teman, ataupun siapa saja. Mungkin kalian menganggap dia yang salah. Asal kalian semua tahu, aku disini yang salah. Mencintai seseorang yang sepantasnya aku tindas. Tapi apa kalian menganggap dia ini lemah? Seseorang yang pantas untuk kalian tindas?,” kata Radit hingga membuat serigala-serigala itu diam. Dan meninggalkan kelas ini.
            Aku hanya bisa menangis di pelukan Radit. Dan kurasakan hangat tubuhnya yang membuat aku kembali tegar.
            “Aku janji. Aku akan melindungimu dari mereka, ngga akan pernah membuatmu seperti ini lagi. Kamu itu kuat. Jangan tunjukin kalau kamu lemah dihadapan mereka, kamu bukan orang yang pantas untuk ditindak. Dan katakana pada teman-temanmu, kalau kamu bukan mata-mata ORGANISASI DI SEKOLAH” kata Radit tersenyum sembari mencium keningku hangat.