Madyapadma35

Minggu, 08 April 2012

Cerpen : Bintang Untuk Senja

Aku menatap di kejauhan fajar, menanti senja yang mulai menghilang. Nampak lukisan kemenangan sang mentari ke peraduan. Aku menangis di tengah gemericik hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Aku tak tahu sudah berapa lama aku disini. Entah satu jam, dua jam, terserahlah aku seakan tak peduli. Aku terlalu letih memikirkan dunia yang seakan tak bersahabat.

Prang, Pyang, Pyang, gedebug, dor, debur. Begitulah suara yang sesekali aku dengar dari kamar di ujung sana. Telingaku seakan membisu karena suara itu hampir ku dengar sesekali dewi malam menyapa.
Berita pertengkaran orangtuaku sudah sering aku dengar. Serta orangtuaku menjadikan kantor sebagai rumah keduanya membuatku muak. Ditambah lagi kehadiran bocah tengik yang semakin mengusik hidupku.
Orangtuaku adalah pengusaha sukses terkenal di kota ini. Mamaku seorang wanita karier terkenal yang sibuk mengurus perusahaan miliknya. Begitu juga papa tak kalah sibuk seperti mama.  Sampai-sampai aku dan Kevin, adikku dianaktirikan dengan perusahaan milik orangtuaku.
Aku sempat mengeluh pada Mama, ketika Mama dirumah. Memang menjadi barang langka ketika orangtuaku di rumah hanya untuk satu malam saja. “Ma, Nja ngga bisa hidup kayak penjara gini. Aku kayak Putri yang  hidup di castle berlian sendirian. Tapi Ma, yang aku butuh cuma mama dan….”. belum sempat aku melanjutkan, mama sudah memotong perkataanku. “Mama seperti ini hanya karena kamu dan Kevin, Nja”, potong Mama singkat.
“Tapi Ma, aku ngga butuh uang, ngga butuh harta. Yang aku dan Kevin butuhin kasih sayang mama dan papa. Ngga lebih!”, kataku tercekat. Mama berlalu meninggalkanku tanpa sepatah katapun terucap dari bibir lembutnya.

Pagi itu, tepat pada hari Valentine, Dion mengajakku pergi ke suatu tempat yang aku tak tahu entah dimana. Karena mataku ditutupnya dengan saputangan berwarna biru pastel kesayangannya. Dituntunnya aku hingga ke suatu tempat yang masih penasaran untukku. “Surprise”, katanya singkat, ketika kutanyakan dimana ini?
Aku digiring ke tempat dimana lilin-lilin kecil sudah berjajar rapi berbentuk kata “I Love You”. Hingga kusadari setelah saputangan itu dibuka, aku sudah berada di tengah lilin-lilin yang sengaja dijajarkan berbentuk hati mungil itu. Dion merangkulku dari belakang dengan membawa sebuket tulip ungu kesukaanku. Belum sempat aku bertanya. “Senja, aku suka sama kamu semenjak pertama kali kita bertemu. Kamu mau ngga jadi pacar aku?”, tanyanya tanpa basa-basi.
Ku lihat disekitarku betapa hebatnya Dion mempersiapkan semua ini. Ku tatap mata biru itu lekat. “I-iya”, jawabku gagap sembari Dion memelukku erat.

Entah mengapa malam itu tiba-tiba aku bermimpi buruk. Aku bermimpi, Dion menghampiriku sambil mengenakan pakaian serba putih dan kutatap mata biru itu tampak layu, sambil berkata “Jaga dirimu baik-baik ya, Nja. Aku sayang kamu. Kamu pasti nemuin yang terbaik buat kamu”, katanya singkat.
Ku balas ucapan yang membuatku hampir menangis. “Jangan tinggalin aku, Dion. Aku sayang kamu”, kataku sambil terbangun dari igauanku dimalam buruk itu.
Aku tak mengerti maksud mimpiku itu tanpa aku sadari itu sebuah pertanda untukku. Tapi bodo amat, itu cuma mimpi, dan mimpi itu bunga tidur, pikirku,

Setelah pacaran, aku merasa berbeda dengan sikap Dion yang selalu menjemput dan mengantarku ku pulang, mengajakku makan, nonton dan nongkrong di mall bareng. Namun, Bian sahabatku, juga mulai menghilang setelah mendengar gossip di seantero sekolah, kalau aku pacaran dengan Dion.
Hari-hariku kini diwarnai dengan canda tawa Dion yang menghiburku dikala aku butuh kasih sayang orangtuaku yang mulai menghilang. Aku merasakan betapa nyamannya bila aku merasa di dekatnya. Tanpa ku sadari aku bagaikan di benci oleh cewek-cewek SMA Fiesta semenjak aku pacaran dengan Dion.
Maklumlah, siapa sih yang ngga tertarik dengan cowok putih, tinggi, bermata biru, dan selalu penuh kejutan seperti Dion? Seabrek cewek mendambakan cowok seperti Dion, begitu pula. Aku.

Setelah dua tahun berpacaran, aku merasakan hal yang aneh pada Dion. Entah mengapa, si mata biru itu menghilang dari hidupku beberapa bulan belakangan ini. Aku semakin merasa aneh, Bian mulai berlagak dekat denganku. Dan aku semakin merindukan sosok yang selalu membuat diriku tersenyum.
Tak ada kabar yang membuatku lega dimana Dion saat ini. Namun, kabar burung mengatakan Dion sedang sakit keras dirumah sakit. Tapi ku hiraukan kabar burung yang tak kuketahui darimana datangnya.

Malamnya aku lagi memimpikan hal aneh yang semakin membuatku semakin penasaran. Aku bermimpi lagi Dion memelukku dan tidur di atas pahaku di taman itu. Aku terhanyut dalam sebuah dengkuran hangat di atas pahaku itu. Namun, lama-kelamaan nafas itu pun mulai menghilang, aku panik luar biasa menatap si mata biru itu kini tampak pucat dengan seuntai senyum di wajah tampannya. Aku tak kuasa menahan tangis, dan aku berteriak,“DION!” sambil terbangun dalam mimpi galauku. Ku lihat Mama menenangkanku. Ku rasakan peluh bercucuran dari seluruh badanku layaknya orang mandi. Dan ku lihat Mama tersenyum sambil berkata “Tenang, Nja. Dion ngga apa-apa”.

Mimpi itu selalu menghantuiku setiap malam. Aku selalu memimpikan sosok yang jarang aku temui saat ini. Aku merindukannya. Sungguh aku merindukannya. Sosok yang selalu membuatku bahagia dan sosok yang membuat aku semakin penasaran. Cowok jangkung itu kini sudah tak menghantui aku lagi, tapi sungguh aku merasakan kehampaan yang mendalam saat ini dan untuk nantinya.

Hingga Aku mendengar kabar dari mulut pria si mata hijau itu, dia Bian sahabatku. “Nja, maafin aku baru bilang sekarang. Aku dari dulu pengen banget bilang ma kamu soal Dion…”, katanya diam. “Apa?!” Aku sontak terkejut kenapa Bian tumben seperti ini padaku.
“Sebenarnya dari dulu itu..”, ucapnya sambil berpikir. “Dion sudah lama menderita leukemia yang kini sudah merenggut nyawanya”, lanjutnya yang membuatku kini berbulir air mata. “Dari dulu aku sudah kepengen banget bilang sama kamu, Nja. Tapi Dion terus saja menghalangiku untuk tidak mengatakan ini padamu, hingga akhirnya kini…” ucapnya sambil tak bisa berkata apa-apa lagi.
Aku sontak menangis. Sekencang-kencangnya aku menangis. Lalu menghentakkan tubuh jangkung si mata hijau itu “Kenapa kamu baru bilang sekarang?! Kenapa?! Kenapa kamu bilang pas Dion sudah ngga ada lagi?! Kenapa?!”. Suaraku parau seakan yang ada dipikiranku saat ini hanya kata ‘kenapa?!’. Hingga akhirnya yang ku lihat hanya gelap.

Aku terbangun sambil memeluk tanah merah yang ada di hadapanku saat ini. Ku sematkan bunga mawar putih kesukaannya. Lalu aku berkata “Selamat jalan sayang, aku akan selalu mencintaimu”, aku terisak seakan tak bisa ku lepaskan sesuatu yang ada di hadapanku kini. Ternyata mimpi itu benar Dion kini sudah meninggalkanku untuk selamanya.

Sekarang tak ada lagi senyuman dari si mata biru itu dan menghiasi hari-hariku yang kelam. Aku duduk sambil membaca surat dari Dion yang dititipkan untukku.

Kamu bagaikan matahari yang membuatku seakan tersenyum walaupun dalam hati aku menangis menahan sakit ini. Kamu seperti senja yang membuatku tertawa dalam rasa sakit yang ku derita. Dan kamu bagaikan bintang yang selalu menyinariku disaat-saat terakhirku. Aku bagaikan bisa hidup untuk selamanya ketika aku dekat denganmu, dan aku yakin kamulah malaikat dalam hidupku. Terima kasih sudah menjadi bintang untukku, Senja. Aku mencintaimu. Dion.

Aku tak kuasa menahan tangis membaca surat pemberian Dion untukku. Tulisannya membuatku merasakan Dion kini berada disampingku. Dan tak ku hiraukan tangisan itu kini bercampur dengan gerimis patah yang mendera tubuhku. Entah sudah berapa lama aku berada di tempat  yang menajdi kenangan indah untukku, dan tentu untuknya. Sungguh tak ku sangka si mata biru itu kini sudah benar-benar meninggalkanku. Dan kini ku tak akan mampu menjalani hari-hariku, disaat tak ada lagi canda tawa si mata biru itu yang menggodaku. Tapi, tak akan pernah aku lupakan tatapan kosong yang membuatku jatuh cinta saat itu. Aku semakin percaya kini Dion ingin aku bahagia walaupun bukan dengannya. Namun, kematian bukanlah hal yang akan memisahkan cinta tulusku untuknya. Tetapi itu hal yang akan membuatku tetap ingat padanya. Aku mencintainya setulus hatiku. Sesemurni cinta yang ku berikan untuknya. Kubulatkan tekadku untuk tetap  tegar menjalani hidup ini tanpa kehadiran Dion di sisiku.


Oleh : Pebri

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar