Madyapadma35

Minggu, 08 April 2012

Cerpen : Diary Biru Pastel

Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada disana tenanglah dirimu dalam kedamaian. Ingatlah cintaku kau tak terlihat lagi, namun cintamu abadi”. Itulah sepenggal lagu yang membuatku kembali terisak.

Ku lempar ipod yang sedang asyik mengomel itu. Hatiku yang sudah seperti biasa, kini semakin perih ketika mendengar lagu itu lagi. Aku tak tahu kenapa aku mulai benci dengan lagu-lagu galau seperti itu.
Aku kembali terisak dan menutup wajahku dengan bantal agar tidak ada orang yang tahu kini aku merindukan sosok yang selalu membuatku gembira.
Tanah merah itu sudah mulai mengering sama seperti air mataku yang semakin hari kian menipis dan hampir saja mongering. Tak ada hal yang kini membuatku bahagia. Yang aku butuhkan kini sosok Dion yang setiap saat menghiburku.
Kutatap diary mungil itu dihadapanku. Begitu lembut dan ku dapat rasakan tangan hangat Dion sedang menggenggamku dan mencoret-coret diary mungil itu. Aku tak percaya cowok sekeren Dion mempunyai diary yang membuatku semakin tergoda untuk membacanya. Ku amati isinya dan ku mulai membuka lembar demi lembar yang membuatku semakin penasaran.
Ku tatap lekat-lekat sampul depan diary mungil itu. Warna biru pastel kesukaanya. Ku buka dan terus ku baca lembar demi lembar hingga ada satu kata yang membuatku tersadar.
Aku semakin tersadar betapa malaikat berkulit putih itu bisa membuat aku tak karuan. Malaikat itu bagaikan sebuah kesejukan yang membuatku semakin nyaman dan hidup ini semakin berwarna. Hingga aku tidak sadar bahwa hidupku tak lama lagi.

Aku mulai terisak membaca lembar demi lembar yang berisi sebuah harapan untukku. Baru aku menyadari ternyata Dion sudah menyukaiku sejak lama. Ku buka lagi lembaran berikutnya dan kulihat sebuah tulisan yang membuatku kembali berlinang air mata.

Malaikat pencabut nyawa itu sungguh rupawan. Aku suka. Ngga ada malaikat pencabut nyawa secantik itu yang membuatku semakin berarti. Sungguh baru ku temui malaikat pencabut nyawa yang bisa menghilangkan hari-hariku yang kelam.

Aku semakin penasaran apakah aku yang ditulis Dion sebagai ‘Si Malaikat Pencabut Nyawa’ itu? Aku semakin penasaran. Ku putuskan untuk membaca diary itu selanjutnya.
Aku senang. Ternyata dia menerima cintaku. Aku tak menyangka ternyata malaikat pencabut nyawa itu merasakan hal yang sama denganku. Sungguh tak kurasakan kebahagiaan seperti ini yang menerpa hidupku.
Aku terus membaca dan terus membaca sesuatu yang kini erat aku genggam, berisi coretan tangan yang membuatku semakin dilanda rindu sendu yang tak kunjung aku dapatkan semenjak Dion pergi dari hidupku.
Aku selalu senang dan semakin senang, hingga tak kuhiraukan kini penyakitku kambuh saat ku dekat dengannya. Namun, aku mencoba bertahan hingga tak lagi ada rasa sakit ini menderaku. Dan aku harus tetap tersenyum dihadpannya. Aku ngga boleh lemah.
Aku memandang lemah disekelilingku. Tak kusangka Mama kini berada disebelahku sambil mengamati apa yang ku rasakan kini. Hingga ku tutup kembali wajahku dengan boneka Shaun The Sheep pemberian Dion yang aku pikir tak bisa menutupi wajahku sepenuhnya, namun itu mustahil.
“Tumben udah pulang?”, kataku berbasa-basi. Karena hanya itu yang dapat aku ucapkan disela isakan yang semakin membuatku tersiksa.
Mama tidak menghiraukan pertanyaanku tadi, lalu menghela nafas panjang, sambil mencoba berkata walau agak terbata, mungkin karena berat menanyakan ini padaku yang sedang bersedih. “Ka-kamu sayang banget sama Dion ya?”,
Aku semakin tersiksa dan membuat air mataku mulai deras. Tanpa terasa aku kini sudah berada di pangkuan Mama sambil memeluk boneka Shaun The Sheep, sambil berkata “I-iya”, walaupun sedikit terbata. Hingga tak ku sadari kini aku terlelap di pangkuan Mama.

Kenangan itu mulai muncul kini ketika foto Dion terpampang di mading itu berisi tulisan “Wajahnya Seindah Prestasinya”. Siapa yang membuat ini? Aku bingung, sejak kapan mading ini telah tertempel? Aku tak mengerti. Dan semakin tak mengerti. Sudah tiga hari aku ngga nongol di sekolah alias aku meliburkan diri karena aku terlalu syok mendengar berita kematian Dion yang merubah hidupku. Tapi Mama, sudah mengirimkan surat ‘sakit’ ke sekolah. Padahal aku ngga sakit, badanku ngga panas, namun hatiku yang terasa sakit, melebihi seseorang yang sedang patah hati.
Senyuman di foto itu kini membuatku kembali menitikan air mata. Aku tak mengerti ketika aku melihat kenangan itu, seketika saja air mataku mengalir deras tanpa ku perintahkan. Dan kulihat senyuman itu begitu tulus dan Nampak sehat, tak ada guratan perih di wajah cowok manis itu. Hingga ku tanyakan pada seseorang yang akan membongkar mading itu. “Ini mading kapan?”, tanyaku lemas. Walaupun aku tidak pernah sedikitpun nongol membaca mading itu, walaupun terbitnya setiap bulan sekali. Pantas saja aku tak tahu isi sekolahku karena sesekali pun aku tak menengok isi mading itu.

Gadis 16 tahun itu bingung. Kemudian berpikir sesaat dan akhirnya berkata pelan, namun pasti. “Dua bulan yang lalu”, ucapnya pelan.
Dua bulan? Seketika itu aku kaget dan tersontak bangun, serasa aku bangun dari mimpi yang menyiksa itu. Dan ku lihat gadis mungil itu mengganti mading itu dengan yang baru dan menempelinya satu-persatu. Aku terus memperhatikan dan aku mulai bertanya lagi. “Boleh ngga aku minta foto Dion?”. Gadis itu tak menjawab, karena sibuk menempel mading itu sendirian. Ku beranikan diri dan kutanyakan hal yang sama sekali lagi ketika dia hendak pergi. “Boleh ngga aku minta foto Dion?”. Gadis itu lalu menyodorkan profil Dion itu dan seketika itu aku kembali termenung dan aku sadari kini air mataku mulai mengalir saat aku melihat lebih jelas foto itu. Dan tiba-tiba dunia ini gelap.

Semenjak saat itu Bian, melarangku untuk melihat ataupun mendengar sesuatu tentang Dion. Semua orang pun kini tak pernah menyebut nama Dion lagi. Ini semua demi aku? Batinku. Aku tak habis pikir berapa uang yang dihabiskan Bian untuk menyumpal mulut orang-orang sekolahan untuk tidak berbicara semua hal tentang Dion. Tapi aku tergolong nakal, aku terlalu kangen dengan si mata biru itu. Hingga setiap hari aku bawa Diary Biru Pastel itu ke sekolah. Aku mencari-cari waktu agar ku bisa baca satu persatu diary itu hingga habis. Namun suatu ketika, aku menangis membaca salah satu lembar Diary itu, aku tak kuasa menahan tangis dan aku coba tetap bertahan sebelum aku jatuh pingsan dan pastinya aku bakal dimarahi Bian habis-habisan. Aku berpikir memang dia siapaku? Seenak jidatnya saja dia melarangku membaca atau mendengar semua hal tentang Dion.

Ku temukan lembar yang menyatakan Dion sangat mencintaiku dan aku menangis, tak kuasa aku menahan gejolak batin yang menyiksaku itu. Ku seka butir-demi butir tetesan air mata itu yang membuat semua orang memperhatikanku di kelas ini. termasuk Bian yang air mukanya tampak kesal dengan perilakuku ini.
Semua ini aku lakukan demi malaikat hatiku ini. Aku mencoba bertahan dalam rasa sakit yang semakin hari -akhir-akhir ini- dan semakin ku rasakan sakitnya. Ku putuskan akhirnya untuk tidak menemuinya sampai rasa sakit ini reda dan mulai menghilang. Namun sungguh aku sangat rindu padanya mulai detik ini hingga nanti. Aku ingin bertemu dengannya. Tapi hati kecilku melarang dan tak ingin melihatnya bersedih menatapku yang kini kian layu. Tapi aku terus memantaunya dari Bian yang selalu mengabariku keadaannya. Aku tersenyum pilu mendengar cerita Bian yang membuatku terusik karena malaikat pencabut nyawa itu kini sangat sangat merindukanku. Aku semakin tidak tega, namun semua ini karena cinta tulusku untuknya. Yang membuatku tidak berani menemuainya dan mengabarkan keadaanku kini karena aku tak mau menyakitinya. Aku ingin berteriak dan semoga malaikat pencabut nyawa itu mendengar jeritan hatiku ini. AKU SANGAT-SANGAT KANGEN KAMU DAN AKU SANGAT-SANGAT MENCINTAI KAMU, SENJA!

Tulisan itu semakin dan semakin membuatku menangis. Tak kuasa aku bila tidak menjatuhkan bulir-bulir air mata ini. Semua isi hatiku saat itu kini tumpah dan menjawab pertanyaanku selama ini tentang mengapa Dion menjauhiku dahulu. Dan satu fakta yang aku dapatkan adalah Bian mengetahui semua ini dan bersekongkol untuk tidak memberitahukan ini padaku. Ku lihat dia kini berdiri mematung dihadapanku. Aku ingin menghakiminya kini, namun semua tenaga yang aku punya seakan tak sanggup untuk memukulnya karena semua tenaga yang aku punya terkuras akhir-akhir ini karena suatu kata yaitu tangisan yang membuatku semakin lemah.
“Bian, kamu jahat. Kenapa kamu menyembunyikan semua ini?”, kataku setengah berteriak namun sangat lemah dan bahkan tidak didengar siapapun kecuali aku dan Bian.
Bian tak berbuat apa-apa dan hanya berdiri mematung seakan menyesali perbuatannya selama ini. dan tak ada reaksi apa-apa dari si mata hijau itu. Hingga sepersekian detik dan aku mulai lemah, hingga akhirnya yang ku lihat hanya gelap.

Oleh : Pebri

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar