Madyapadma35

Senin, 09 April 2012

Cerpen : Jangan Lupakan

Kesya Anastasia Andita. Ia akrab disapa Kesya. Sampai sekarang nama itu masih terngiang dalam pikiranku. Kadang, dalam lamunanku, terbayang kembali tawanya yang manis. Tawa yang merdu dan penuh keceriaan yang dibuat-buat, tawa yang tidak lepas. Seringkali aku sendiri bertanya-tanya, apakah tidak ada orang lain selain aku yang menyadari sesuatu yang aneh dalam tawanya itu? Senyumnya pun amat berat dan sendu, seolah ia tidak memilki sesuatu yang membuatnya bahagia, dan juga derita. Namun, aku tidak pernah terlalu ambil pusing dengan hal-hal semacam itu.
    Aku dan Kesya saling mengenal sejak 4 tahun lalu, di kelas VA. Ya, aku dan Kesya sama-sama menduduki posisi 20 besar saat itu sehingga kami di tempatkan di kelas VA. Di sini hampir tak seorang pun mau menjadikanku teman, entahlah alasan apa yang membuat mereka tidak mau berteman denganku. Kesya adalah satu dari sedikit sekali orang yang mau berteman denganku. Jadilah kami di sini menjadi teman satu kelas. Lambat laun kami pun berteman. Mungkin boleh dibilang aku ini sahabatnya. Menurut Kesya, ia masuk kelas VA karena sebuah keterpaksaan bukan niatnya sendiri ingin masuk kelas unggulan tersebut, ia dipaksa oleh orang tuanya agar terus belajar, belajar dan belajar hampir waktu yang ia punya dgunakan untuk belajar agar dia bisa masuk kelas unggulan. Mungkin itu sebuah alasan yang masuk akal mengapa tidak ada satu pun orang yang ingin berteman dengannya dan dia menjadi seseorang yang cukup pendiam dan egois.
    Banyak anak laki-laki di kelas mengagumi Kesya karena cara tutur katanya yang lemah lembut dan santun, tetapi Kesya tak pernah memedulikan mereka. Bagi Kesya, hal terpenting dalam hidupnya ada dua : orang tua yang selalu mengerti akan keadaannya serta sahabat. Cukup. Namun ternyata, kriteria hidup ala Kesya yang sekilas tampak sederhana ini, tak satu pun terpenuhi dengan baik. Mungkin itu sebabnya ia tak pernah terlihat bahagia sebenar-benarnya. Memang, dalam acara-acara sederhana yang dilakukan sekolah dia ikut melebur dalam tawa, tapi terkesan itu hanya formalitas saja. Sekedar etika yang harus dipatuhinya agar tidak merusak keceriaan orang-orang di  sekitarnya. Kesya lebih banyak menyendiri di perpustakaan, tenggelam dalam lamunan. Seolah hanya tubuhnya yang hadir di situ, tapi jiwanya menerawang ke tempat lain. Ke masa lampau, ke dalam kenangan, atau mungkin berkelana ke alam mimpi. Ke tempat ia merajut harapannya, yang kemudian terkoyak bila ia kembali ke dunia nyata. Kadang-kadang bila aku meliriknya saat kami sedang bersenda gurau, Kesya tertawa hambar, sekedar menyumbang suara. Bibirnya memang tersenyum, suaranya memang terdengar tapi matanya tidak dapat mengelabui. Bila diperhatikan dengan seksama dalam mata kelabu Kesya yang indah, ada sesuatu yang lain. Seperti mencerminkan bahwa ada kehampaan dalam dirinya. Kekosongan yang tersembunyi dalam ruang hatinya. Yang mungkin dulu terisi oleh suatu kebahagiaan yang kemudian direnggut darinya. Kesepian yang tidak dapat terobati oleh apapun, kecuali kebahagiaan itu diperolehnya kembali. Namun, sayang, tidak ada yang mau repot-repot memperhatikan seperti itu. Kami semua, anak-anak kelas VA, amat sangat sibuk sehingga bila ada perayaan atau sejenisnya, kami langsung meleburkan diri dalam keceriaan, kehidupan indah masa kanak-kanak yang tak sempat kami rasakan.
    Kisah Kesya, yang baru kuketahui setelah Kesya meninggalkan kelas ini, cukup menyentuhku sehingga tak ada salahnya bila kuceritakan pada kalian semua. Here we go...
    ”Tahukan kau? Hidup ini sangat menyebalkan. Masa sudah 5 tahun kita sekolah disini, tidak ada sedikit pun perubahan yang berarti, yang bisa membuat kita bahagia ? Dunia ini keterlaluan, pilih kasih ! Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya kasih sayang dari orang tua, aku ingin seperti anak-anak lain yang bisa bermain dengan bebas. Bukan seperti ini yang kuinginkan, setiap malam aku selalu mendapat pukulan , omelan , hinaan dari orang tuaku sendiri! Sungguh Tuhan begitu tidak adil bagiku!” Untuk kesekian kalinya Kesya mengeluh tentang kehidupannya. Kata-kata semacam itu sudah seperti nyanyian hidup yang selalu terngiang di telingaku, karena saking seringnya Kesya mengomel tentang dunia yang dianggapnya tidak adil.
    ”Terima saja, Kes, kau mengomel seperti ini juga tidak menyelesaikan masalah. Yang penting kita bisa belajar dan sekolah seperti anak-anak lain. Masih banyak anak-anak yang tidak seberuntung kita diluar sana, kita syukuri saja apa yang ada sekarang. Kalau kita anggap hidup ini menderita, kita akan menilai orang lain selalu lebih bahagia, dan itu Cuma memperburuk keadaan! ”
    ”Mungkin kata-katamu memang benar,” kata Kesya sambil menarik nafas dalam-dalam. Ia tertawa kecil, tawa dalam yang seakan menghina dunia yang amat bijaksana, kemudian ia mendengus penuh penat.
    ”Dunia pilih kasih, itu tidak salah. Masalah kita bukan itu, masalah kita adalah bagaimana supaya kasih dunia juga tercurah pada kita.” gumamku sendiri.
    Ketika jam istirahat, aku dan Kesya selalu menuju perpustakaan sembari menghilangkan rasa jenuh yang membelenggu dalam kehidupan kami. Kalau kuperhatikan, Kesya selalu belajar lebih keras daripada yang lain. Ia selalu merasa harus menjadi yang no 1 agar bisa hidup seang dan membahagiakan kedua orang tuanya. Akhir-akhir ini Kesya sering mengeluh pusing-pusing, tapi aku menganggapnya biasa. Paling aku hanya menyuruhnya istirahat di ruang UKS. Pernah aku menyuruhnya ke dokter, dan disambut dengan cerocosan panjang lebar ”memangnya kau pikir orang tuaku akan memikirkan keadaanku, mana pernah mereka menanyakan apa aku sakit atau tidak ! Yang mereka pikirkan hanya kesenangan mereka, mereka tidak pernah memperdulikan keadaanku. Apa aku terlalu hina jadi anak mereka ? sehingga mereka memperlakukan aku seperti ini!” Sejak itu aku jera memberinya nasihat macam-macam, lebih baik suruh saja dia istirahat, tidur, pokoknya apa pun untuk mendiamkannya. Di depan orang-orang Kesya memang terlihat pendiam dan penuh beban, tapi entah kenapa disetiap menjelang pulang sekolah dia berubah menjadi orang yang amat gemar mengeluh. Satu yang sama : ia tetap terlihat penuh beban. Kadang aku kasihan juga padanya.
     Minggu pagi, kami mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh guru di sekolah. Aku dan Kesya mendapatkan tugas untuk meneliti tumbuhan yang ada disekitar lingkungan kami. Berbekal pulpen dan mini book kami mulai meneliti tumbuhan disekitar rumah. Setelah selesai, kami berjalan menuju rumahku yang tidak terlalu jauh dari tempat kami tadi. Entah kenapa hari itu matahari bersinar amat terik.
    ”Duh panas banget,” ujar Kesya sembari menutupi wajahnya dengan tangan. Bulir-bulir peluh menetes di sekujur tubuhnya. Aku menyipitkan mata, sinar matahari terasa amat menyilaukan. ”Duh panas!” keluh Kesya lagi.
    ”Iya, aku juuga tahu kalau hari ini panas, Kes. Berhenti mengomel kenapa? Bikin tambah panas aja,” aku betul-betul gerah, dan omelan Kesya sungguh membuat hari ini tambah panas.
    ”Uuuh, aku nggak kuat kalau sepanas ini, Win,” ujarnya lemah. Aku memalingkan wajah ke kiri dan ke kanan, mencari-cari angkot. Aku tidak menoleh ke arah Kesya, sampai kudengar bunyi ”bruk” pelan dan pulpen serta mini book  yang dibawa Kesya terjatuh. Terkejut, kupalingkan wajahku kearah Kesya, yang kini telah tumbang di jalan aspal tersebut. Aku menjerit kaget, lalu kubantu ia bangun. Kesya pingsan dan aku dilanda kebingungan. Aku melambaikan tanganku asal saja ke arah jalan, aku gusar sekali. Untunglah ada bemo yang berhenti didepan kami, segera aku gotong Kesya kedalam bemo dan menuju rumah sakit terdekat.
    Pukul 16.00 Kesya akhirnya tersadar juga dari pingsannya yang cukup terbilang lama itu. ”Win, apa yang terjadi padaku? Mengapa aku bisa ada disini?,” tanya Kesya padaku. ”Kes, tadi kamu pingsan, karena aku terlalu panik makanya segera kubawa kamu ke rumah sakit dan kata dokter kamu terlalu kecapaian.”kataku.
    Hmmm, aku merasa agak lega sekarang karena Kesya sudah sadar dari pingsannya. Keesokan harinya Kesya tidak masuk sekolah katanya dia mau dioperasi. Dioperasi! Aku kaget, ketakutanku mendengar kata operasi meraja-lela di pikiranku, aku pun bermaksud pulang sekolah nanti ingin membesuk Kesya di rumah sakit.
    Tiba di rumah sakit....
    Tibanya aku disana Ibu Kesya mengantarkanku ke ruangan tempat Kesya dirawat, kemudian dia keluar dan meninggalkanku berdua dengan Kesya. Kesya terlihat senang saatku datang. Sebelum itu aku sempat berbasa-basi dengannya, tetapi itu tak lama karena tiba-tiba Kesya mengatakan sesuatu yang benar-benar membuatku syok saat itu. ”Aku udak gak kuat lagi Win, aku udah pasrah, aku rela jika Tuhan memanggilku sekarang,” dengan pelan Kesya mengatakan.
    Aku kaget mendengar perkataan Kesya. Baru tadi aku berdoa, berharap supaya Kesya kuat dengan keadaannya ini.Aku bingung, aku pingin nangis melihat keadaan Kesya. Wajar saja kalau dia sudah berpasrah diri. Dengan wajah yang sangat pucat, aku ngerti kalau dia itu udah gak kuat lagi. Aku yakin kalau keputusannya berpasrah diri itu adalah keputusan yan tepat. Dan, ternyata Kesya ingin meminta bantuanku, makanya dia menginkanku menemuinya. Kesya ingin aku menuliskan sebuah surat untuk keluarganya karena dia tak ingin mengatkannya secara langsung di depan keluarganya. Ia tak ingin keluarganya menangis di depannya.
    Aku merasa sedih saat menulis da mendengarkan apa yang ingin Kesya sampaikan kepada keluarganya. Ia mengatakannya dengan terpatah-patah. Kesya memang anak yang berhati baik. Walaupun ia menderita saki leukimia, sakit yang baru aku ketahui saat ini, dia masih mau dan tidak lupa mengatakan terima kasih kepada keluarganya karena sudah membuatnya bahagia selama hidupnya dan dia ingin meminta maaf karena harus meninggalkan mereka lebih cepat tanpa bisa membalas semua kebaikan keluarganya. Di akhir surat Kesya minta dituliskan sebuah kalimat ”Salam sayang dari Kesya, selamat tinggal”. Seteah itu, dia mengucapkan terima kasih padaku. Kemudian, Kesya memejamkan matanya. Ia pergi meninggalkan semu yang mencintainya. Dia pergi, pergi dengan wajah tersenyum cantik, sangat cantik, beberapa detik kemudian, orang tua dan yang lainnya masuk. Mereka memeluk dan mencium Kesya. Dalam benakku berkata, ”Kau meninggalkan semua orang yang mencintaimu dengan wajah tersenyum. Selamat jalan, Kes.”
    Besoknya... Setelah pemakaman.
    Siang tadi jasad Kesya sudah dimakamkan. Sesuai dengan permintaanya, dia ingin surat ini diberikan kepada keluarganya setelah pemakamanya selesai. Aku memberikannya kepada kakak Kesya dan dia membacakannya di depan keluarganya. Ibu Kesya gak henti-hentinya menangis dan memeluk foto anak gadis satu-satumya itu. Namun, ia masih tetap mendengarkan isi surat yang dibacakan oleh kakak Kesya.
    Aku salut pada Kesya. Ketabahan, ketegaran Kesya selama ini membuat keluarganya bangga padanya walaupun dia sudah tak ada lagi berada bersama keluarganya.
    Sudah 4 tahun Kesya pergi saat ini tapi aku masih tetap menyimpan semua kenangan dari Kesya selama ini. Kesya, semoga kau disana tak pernah melupakanku dan ingatlah lagu yang sering kita nyanyikan selama kita bersama.
Selamat Jalan Kesya

Oleh : Nala

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar