Madyapadma35

Senin, 09 April 2012

Cerpen : Kenangan Berharga

Perlahan-lahan mentari berjalan menuju peraduannya. Angin berhembus lembut dengan sejuknya. Burung-burung ikut berlari seakan diterbangkan oleh angin. Pohon kelapa melambaikan daunnya seolah menutup hari yang lelah. Namun, di tengah suasana jingga tersebut, di atas batu karang yang teronggok di tepi pantai, seorang anak perempuan duduk dengan wajah sedih sambil melemparkan batu ke pantai. Entah berapa lama ia sudah berada di sana dan melakukan hal yang sama. Rani, gadis periang yang kini berubah begitu saja. Tidak ada sebersit senyum dari wajah manisnya. Yang ada hanya tetesan air mata yang membasahi pipinya. Ia ingat betul apa yang dikatakan dokter siang tadi. Di pikirannya hanyalah beratnya pengobatan yang harus ia jalani.
    Setelah sekian lama berada di sini, tidak ada sedikit pun kemauan Rani untuk beranjak pulang. Tiba-tiba seseorang merangkulnya dari belakang. Rani pun terkejut lalu dengan cepat ia menoleh ke belakang.
    “Eh lo, Mil. Gue kira siapa.” sahut Rani sambil mengusap air matanya.
    Mila terkejut melihat mata Rani yang sembab.
    “Kok lo nangis? Cerita sama gue!” Mila menarik-narik baju Rani dengan wajah memelas agar Rani mau menceritakan masalahnya.
    “Mil, gue divonis kena penyakit kanker otak. Gue gak terima. Tuhan gak adil banget sama gue. Gue pingin sehat, gue gak pingin ngejalanin pengobatan yang ribet gitu.” Raut wajah Rani terlihat kesal.
    “Ran, lo yang sabar ya. Bisa jadi vonis dokter tadi salah. Lo jangan bilang Tuhan gak adil. Tuhan adil sama kita, tapi dengan cara yang berbeda. Lo jangan nangis terus.”
Tetapi Rani semakin menangis sejadi-jadinya.
    “Mil, gue pingin sehat. Gue pingin sama kayak lo dan temen-temen yang lain. Kalo Tuhan adil, lo seharusnya kena penyakit kayak gue dong!”
    Hati Mila seperti tertusuk pisau yang menghunus mendengar pernyataan tersebut. Begitulah sifat Rani yang selalu egois, hingga tak tahu apa yang dialami sahabatnya selama ini. Namun, Mila tetap sabar menghadapi Rani. Ia bertekad menyadarkan Rani, agar Rani sadar bahwa dirinya lebih beruntung dan Tuhan adil padanya.
    “Ran, ikut sama gue. Gue pingin nunjukin lo sesuatu.” Mila menarik lengan Rani agar ia tidak menolak ajakannya.
    “Kita mau kemana? Gue lagi gak mood nih!” bentak Rani.
    Pokoknya lo ikut aja. Lo pasti nyadar nanti.
    Ternyata Mila mengajak Rani ke panti asuhan. Dalam benaknya, Rani sedikit bertanya-tanya mengapa ia dibawa ke tempat ini.
    “Ran, gue pingin lo tau, lo masih lebih beruntung daripada mereka yang di sini. Lo masih punya orang tua, sedangkan  mereka gak punya siapa-siapa, Ran.”
    Rani merasa iba melihat anak-anak di panti asuhan tersebut. Jiwa keegoisannya semakin pudar.  Cukup lama mereka berada di sana, berbincang-bincang dengan penghuni panti tersebut.
    “Yuk kita balik. Masih banyak tempat yang gue pingin tunjukin ke lo.” Sahut Mila dengan senyum manisnya.
    Tempat kedua yang Mila tunjukkan adalah pemukiman penduduk yang berada di bawah kolong jembatan.  Mila menyadarkan Rani bahwa ia lebih beruntung, masih mempunyai tempat tinggal yang layak pakai daripada penduduk disana yang tinggal dengan rumah kardus. Saat melihat-lihat pemukiman penduduk, seseorang mencolek pundak Mila. Tampak olehnya seorang anak kecil dengan pakaian compang-camping menengadahkan tangannya. Segera Mila merogoh sakunya dan memberikan uang pada anak kecil tersebut. Anak itu tersenyum dan segera meninggalkan Mila.
    “Ran, lo bisa bayangin kan gimana susahnya nyari uang seusia anak itu?”
    Rani hanya terdiam. Kemudian, Mila mengajak Rani ke tempat selanjutnya, yaitu tempat kursus huruf Braille. Tampak oleh mereka bagaimana susahnya membaca huruf yang hanya  bermuka titik-titik. Dan yang lebih memprihatinkan, mereka tidak bisa melihat indahnya dunia dengan sepasang bola mata mereka.
    “Ran, Tuhan bukan gak adil sama lo aja. Kalo Tuhan adil, mereka gak akan susah gitu baca huruf. Lo ngerti kan sekarang? Lo gak usah ngeluh lagi. Lo itu masih beruntung dari mereka. Lo harusnya bersyukur.”
    Air mata Rani berlinang lagi di pipinya, teringat akan keegoisannya. Tidak ingin melihat Rani menangis lebih lama, Mila mengantarnya pulang.
    1 minggu kemudian, Mila berbaring di rumah sakit. Kondisinya memburuk, sudah lama ia tidak menjalani pengobatan, karena himpitan biaya. Ia hanya bisa pasrah. Ia tidak mau memberi tahu kondisinya kepada Rani. 
    Semakin hari kondisi Mila semakin memburuk, dokter sudah tidak bisa menangani penyakitnya, karena kecil kemungkinan untuk bertahan hidup. Rani mengetahui sahabatnya sedang dirawat dirumah sakit dari guru di sekolah Mila, karena kebetulan pada saat itu Rani mengunjungi sekolah Mila. Bergegas ia ke rumah sakit untuk melihat keadaan sahabatnya. Sampai di depan kamar rawat Mila, Rani melihat  seorang suster mendorong troli yang berbalut kain putih. Melihat ada seseorang yang berbaring di bawah kain tersebut, Rani tidak percaya bahwa itu adalah Mila, sehingga ia memberanikan diri untuk membuka kain tersebut. Rani terkejut seakan tak percaya, sahabatnya telah terbujur kaku.  Rani terduduk lemas dengan air mata berlinang. Terdengar olehnya isak tangis dari dalam kamar rawat Mila. Rani segera masuk ke kamar rawat Mila. Di atas meja terdapat sepucuk surat. Karena penasaran, Rani membukanya.
Untuk Rani sahabatku…
Maafin gue gak cerita sama lo tentang penyakit gue. Maafin gue kalo gue ninggalin lo selamanya. Jangan lo lupain kenangan berharga yang gue kasi waktu itu.  Jaga diri lo baik-baik. Rajin-rajin ngejalanin pengobatan ya. Manfaatin baik-baik waktu yang dikasi Tuhan ke lo.
            Salam manis
                  Mila
    “Lo emang sahabat gue paling baik, Mil. Tuhan adil banget sama gue, karena Tuhan ngirimin gue sahabat sebaik lo.Makasi udah nyadarin gue dari keegoisan gue. Gue bakal selalu inget kenangan berharga yang lo kasi. Semoga lo tenang di sana ya Mil.” Gumam Rani dengan linangan air matanya.

Oleh : Ari Saptarini

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar