Madyapadma35

Minggu, 08 April 2012

Cerpen : Satya Alfandi

Cowok hitam manis itu juga kelas X, sama seperti Sinta. Namun sayang, mereka berbeda kelas. Sinta kelas X1 dan cowok itu kelas X6. Melihat penampilannya, Sinta tau cowok itu berbeda darinya dan teman-temannya. Tapi entah mengapa, Sinta diam-diam suka memandanginya dan menjadi pengagum dalam diam. Satya Alfandi, nama cowok itu. Itupun diketahui sinta setelah berkali-kali ia curi-curi pandang dari badge yang menempel pada seragamnya.
Saat itu Sinta sedang menunggu kakak laki-lakinya yang telat menjemputnya. Sayangnya hp yang sedang digenggamnya mati. Gerimis mulai turun. Namun, dia tidak sendiri disana. Ada cowok itu, sedang diam menatap hujan. Sinta menarik kesimpulan sendiri bahwa cowok itu ada disana untuk menjaganya.
Klakson mobil membuyarkan lamunan Sinta tentang cowok tadi. Itu kakaknya. Yah, itu berarti dia harus pulang. Sinta memang bukan siswi biasa, ia merupakan anak pengusaha terkenal yang bergelimangan harta tapi terikat berbagai aturan.
“Kamu jemput lama banget, besok aku mau minta supir pribadi aja sama papa.” Ucap Sinta kesal.
“Biar lepas dari pengawasan? Coba aja minta sama papa. Tapi aku yakin itu sia-sia.” Bram tersenyum mengejek.
***
“Sintaaa.” Ucap Sheila sahabat Sinta dengan suaranya yang memecah keheningan pagi itu.
“Apaan?” Sinta menanggapi dengan malas
“Radith titip salam.” Kata Sheila sedikit memekik.
“Radith yang mana sih?”
“Ya ampuuun, anak X6. Jangan pura-pura gak kenal deh”
“Emang gak kenal kok, Satya Alfandi baru kenal.” Sahut Sinta cepat.

Bel berbunyi nyaring tanda sudah waktunya murid-murid untuk pulang.
“Cepetan Sin, kayaknya mau hujan nih.” Sheila mengingatkan.
“Ngapain cepet-cepet? Jemputanku juga belum dateng.”
“Aku duluan yaa.” Pamit Sheila pada Sinta.
Seperti biasa, Sinta duduk di bangku beton di depan kelasnya, karena itu posisi paling dekat dengan pintu pagar. Namun, seketika Sinta senang, dilihatnya cowok pujaannya sedang duduk memandang hujan. Sinta berkhayal, andai saja cowok itu tidak duduk disana tapi menghampirinya dan mengajaknya berkenalan. Sinta sangat terkejut saat dilihatnya cowok itu berjalan menuju ke arahnya.
“Hai.” Sapa cowok itu ramah. Dengan gugup dibalasnya sapaan cowok itu.
“Jemputanmu belum dateng?” cowok itu duduk di bangku beton di sisi paling ujung.
“Iya. Kamu nunggu jemputan juga?”
Cowok itu tertawa kecil.
“Tidak.”
“Terus?”
“Menunggumu. Menunggu jemputanmu dateng, baru aku pulang” Cowok itu menatap wajah Sinta.
Sinta sangat terkejut, ternyata cowok ini benar-benar menjaganya.
“Gak boleh ya?”
“Nggak juga.” Sahut Sinta pelan.
“Namaku Alfandi, panggil saja Alfa. Kamu Sinta kan?”
Sinta mengangguk. Berarti aku bisa memanggilnya Alfa saja, Sinta berbisik dalam hati.

Hari ini Alfa tidak ada di sekolah. Tumben dia nggak ada, pikir Sinta dalam hati. Lengkap sudah kekecewaan Sinta saat dilihatnya mobil kakaknya sudah menunggu di depan sekolahnya. Besoknya, Sinta tidak melihat Alfa lagi. Besoknya dan besoknya lagi juga begitu hingga empat hari berturut-turut. Sayangnya, Sinta tidak memiliki kenalan di kelas Alfa, mustahil jika Sinta harus bertanya pada Radith.

Perpustakaan sepi. Sinta dan Alfa duduk berhadapan di meja paling ujung.
“Kemarin aku udah dapet honor, kamu harus mau aku traktir.” Ucap Alfa pada Sinta. Kemarin Alfa cerita, cerpennya dimuat di sebuah Koran. Sinta percaya Alfa banyak talenta, Alfa bukanlah pengamen biasa yang sering diceritakannya pada Sinta.
“Gak usah. Simpen aja uangmu untuk kepentingan lain.” Ucap Sinta pelan.
Uang itu pasti sangat berarti untuk Alfa. Berapa sih uang saku seorang anak sulung dari seorang janda dengan pekerjaan tidak tetap?
“Pokoknya kamu harus mau.”
Sinta tersenyum dan mengangguk.

“Kok kayaknya cowok itu selalu ada di deketmu tiap pulang sekolah ya?” Kata Bram. Tangannya menunjuk pada Alfa.
“Mana aku tau.”
“Temen sekelasku juga punya adik kelas 1. Dan katanya kamu akrab dengan seorang cowok miskin. Sayang, dia gak nyebutin ciri-cirinya. Tapi perasaanku yakin pasti cowok itu.” Ucap Bram dingin.
“Sekali lagi aku ingetin, jangan deket-deket sama cowok miskin, banyak kumannya. Mending sama adik temenku aja namanya Radith.” Lanjutnya.
***
Hari ini wajah Alfa lebam-lebam.
“Ini hadiah dari kakakmu.” Kata Alfa kalem.
“Dia berpikir dengan mengancamku kayak gini aku bakal mundur? Selama kamu mau, aku tetep pertahanin hubungan kita. Walaupun dia ngancem bakal bunuh aku kalo kita masih tetep pacaran.” Lanjut Alfa.
“Kita harus lebih hati-hati. Mungkin lebih baik kita ketemu di luar sekolah. Kita bisa bolos beberapa jam pelajaran dari sekolah.”
Alfa mengangguk. Semua berjalan lancer sampai mereka menginjak kelas XII.

“Aku pengen ngajak kamu jalan-jalan.” Alfa menuturkan niatnya.
“Berdua aja?” Sinta memastikan.
“Iya, untuk ngerayain kelulusan kita.”
Sinta mengangguk setuju.

Saat liburan bersama Alfa, Sinta merasa dirinya benar-benar bebas dari aturan yang selama ini mengurungnya. Tidak ada yang namanya orang tua, dan larangan-larangan mereka. Tapi Sinta tidak tau bahwa saat ini adalah saat-saat terakhirnya bersama Alfa.

Alfa menghilang. Ya, ia menghilang tanpa kabar dan tanpa memberitahu Sinta terlebih dahulu. Dihubunginya HP Alfa tapi tidak aktif. Dicobanya berkali-kali tapi tetap yang terdengar hanya mailbox. Sinta hanya bisa berharap Alfa yang disayanginya akan kembali lagi dan menjelaskan keadaan yang sudah terjadi.

Oleh : Chandrika

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar