Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

Aku Dipermalukan

        Hawa sejuk di pagi hari telah membangunkan Dinda dari tidurnya yang lelap. Segera saja dia alihkan pandangannya menuju jam dinding yang tengah menunjukan pukul 05.30, yang artinya sudah saatnya untuk mandi dan bergegas ke sekolah. Tak terasa sejuknya pagi telah menyatu dengan hangatnya sang mentari yang dengan lembut memancarkan cahayanya, tak lupa Dinda berpamitan kepada orang tuanya lalu dengan segera berangkat menuju sekolah yang kurang lebih hanya sekitar 400 meter dari rumahnya.

    Dinginnya pagi sama sekali tak terasa di hari itu bagi Dinda yang tengah gembira mengenakan  pakaian batik berlengan panjang dengan rambut panjang tanpa poni yang dijalin dengan rapi menghiasi kepalanya yang bulat. Dijalaninya pagi itu dengan penuh senyuman yang selalu menghiasi wajahnya. Tak terasa jam pelajaran pertamapun segera dimulai. “Sungguh hari yang sangat menyenangkan”, ujar Dinda dalam hati.
                        Waktu terus berputar dan akhirnya bel tanda pulang sekolahpun dibunyikan. Seluruh siswa berhamburan keluar tuk segera pulang ke rumah, hal ini tidak berlaku bagi Dinda yang disiang hari itu memiliki tugas membersihkan taman mawar beserta teman-teman satu ekstranya di sekolah. Setelah beberapa menit menghabiskan waktu untuk piket, akhirnya Dinda memutuskan untuk duduk dan bersenda gurau dengan temannya di bangku kosong dekat taman mawar. Tanpa disadari datang seorang laki-laki dengan sebuah pulpen di tangan kanannya dan selembar kertas berwarna pucat menghiasi tangan kirinya menyapa Dinda dan temannya.
“Hai teman-teman….”, sapa Rawi dengan senyumannya yang lebar.
“Hai….. ada perlu apa?”, jawab Dinda.
“Mau nggak bantuin aku buat jadi peserta penghijauan besok di Pegulikan?”, tanya Rawi pada Dinda.
“Tapi aku bukan anggota pecinta lingkungan memangnya boleh ikutan?”, tungkas Dinda.
“Boleh kok teman-temanmu yang lain juga ikut kok, tolong ya.. besok kamu gak usah dah ikut kegiatan yang ada di sekolah nanti aku juga yang bakalan ngurusin surat dispen untukmu… mau ya soalnya kurang lagi satu orang aja? Gimana?”, dengan wajah sedikit memelas melihat Dinda.
“Memangnya tempatnya gak jauh? Kalau ada yang bonceng baru aku mau ikutan”, kata Dinda.
“Gak kok tempatnya gak jauh, ntar aku suruh dah teman yang lain biar mau bonceng kamu. Tolong dong aku sudah dimintai namanya nih sama kak Suara, Ketua Organisasi Siswa”, kata Rawi dengan sangat memohon.
“Kalau gitu boleh deh… kasian juga kamu sudah nyari orang kemana-mana”, kata Dinda.
“Oya teman-teman yang ikut kesana itu Yani, Citra, Tika, Febri sama kamu ya… ingat besok sebelum kesana kumpul dulu di sekolah, untuk pengumuman yang lebih lanjut ntar aku sms ke kalian semua ya… Makasi banyak atas bantuannya”, kata Rawi
“Yoa…sama-sama”, kata Yani, Citra, Tika, Febri, dan Dinda berbarengan.
                        Setelah itu, merekapun langsung berpamitan dan bergegas menuju rumah masing-masing. Siang itu udara terasa begitu panas yang membangkitkan kehausan yang tak tertahankan. Kehausan itu akhirnya hilang dengan siraman es jeruk yang begitu menyegarkan. Mentaripun telah berganti menjadi indahnya pancaran rembulan ditaburi beribu butiran bintang yang menghiasai gelapnya malam. Sekitar pukul 9 malam terdengar nada sms masuk dari handphone Dinda yang ternyata berasal dari Febri yang mengabarkan bahwa untuk kegiatan penghijauan besok semua teman-temannya yang mewakili sekolah diharapkan untuk mengenakan pakaian identitas sekolah dengan celana pendek bebas serta sandal. Sebelum ke tempat penghijauan terlebih dahulu harus kumpul di sekolah pada pukul 06.00 dan sudah berangkat pada pukul 06.30.
                        Keesokan paginya Dinda sudah siap ke sekolah dengan pakaian yang telah ditentukan. Berhubung hari ini merupakan hari purnama seluruh siswa di sekolah mengenakan pakaian adat persembahyangan dengan membawa peralatan sembahnyang dan peralatan untuk mengikuti kegiatan budaya. Sesampainya di sekolah seluruh teman-teman Dinda ternyata telah berkumpul dan siap untuk berangkat menuju lokasi penghijauan. Tapi, tak seorangpun dari mereka yang tau tempat penghijauan yang akan diselenggarakan, jadi dengan sangat terpaksa mereka harus menunggu Rawi atau Kakak Organisasi Siswa yang berwenang. Detik berganti menit dan akhirnyapun menit berganti jam, seluruh teman-teman Dinda yang ke sekolah dengan pakaian adat datang silih berganti. Rasa malupun mulai dirasakan Dinda beserta keempat temannya, bagaimana tidak sungguh aneh rasanya menyaksikan lima orang siswa dengan pakaian dan celana bebas di hari purnama yang enah akan mau pergi kemana.                
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Rawi datang dengan pakaian adat sembahyang menghampiri mereka.
“Rawi beneran sekarang ada kegiatan penghijauan yang diadakan sama Panitia Lingkungannya?”, tanya Febri dengan jengkel kepada Rawi.
“Beneran kok… ada”, kata Rawi.
“Trus dimana tempatnya? Ada gak guru yang mendampingi kita kesana?”, tanya Febri.
“O… tunggu bentar ya.. aku tanyain dulu sama kakak Pengurus Siswanya”, kata Rawi.
                        Dengan meninggalkan senyuman Rawi pergi begitu saja meninggalkan Dinda beserta dengan teman-temannya yang dengan penuh malu mengenakan pakaian bebas di sekolah.
                        Akhirnya Rawi datang dengan mengabarkan kepada Dinda dan teman-temannya bahwa mereka disarankan untuk langsung ke tempat penghijauan tanpa guru pendamping ataupun Kak Suara selaku Ketua Organisasi Siswa. Dengan penuh semangat yang menutupi rasa malu, mereka langkahkan kaki menuju parkiran untuk segeran berangkat, namun sayang ternyata setelah bertemu dengan Kak Ika salah seorang pengurus Organisasi mereka semua disarankan lagi untuk menunggu demi kejelasan informasi yang dimaksudkan. Sungguh hari dengan beribu tanda tanya pikir Dinda kesal. Bagaikan sebuah bola pingpong yang sedang dimankan dan ditendang kesana kemari rasanya.
                        Dengan penuh sabar mereka kembali menunggu, lalu diantara gerumunan siswa, terlihat sesosok laki-laki yang sejak dari tadi mereka tunggu yaitu Kak Suara. Saat Kak Suara melewati ruang guru, Bu Indah, selaku guru Pembina memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai kejelasa kegiatan penghijauan yang Dinda dan teman-temannya akan lakukan. Tapi, bukanya jawaban yang keluar dari mulutnya melainkan sebuah sindiran yang menyatakan bahwa mereka sudah terlambat untuk menghadiri kegiatan tersebut. Sungguh sebuah pernyataan yang mengecewakan dan tidak diharapkan oleh Dinda keluar dari mulut seorang yang sangat dia kagumi.
Dalam hati Dinda terus saja bertanya, dan semakin bertanya bagaimana mungkin seorang yang seharusnya dapat mengayominya ternyata merupakan seorang dengan topeng yang entah apa bersembunyi di dalamnya. Kekesalan dan kemarahan bercampur menjadi sebuah asap tebal yang menyesakan Dinda, sekejap Dinda merasa sangat dipermalukan dan dipermainkan. Namun, rasa itu hilang seiring dengan berjalannya waktu dan akan tetap dikenangnya sebagai sebuah pengalaman hidup yang mengajarkannya untuk bisa lebih baik lagi dalam menjalani hidup ini.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar