Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

Cerita Ini Belum Berakhir

           Awal aku disini, siapa yang tau aku? Dan siapa juga yang aku tau? Tidak ada. Paling hanya satu atau dua orang kakak kelas yang dulunya berasal dari SMP yang sama denganku. Siapa juga yang akan memperhatikanku? Asalku Gianyar, rumahku Gianyar, SMPku Gianyar, dan keluarga kecilku pun di Gianyar. Aku memiliki dedikasi tinggi untuk dapat ada di sini. Dan mengalahkan sekitar 900 orang yang gagal untuk berebut kursi di sini. Dan tentu saja orangtua ku mengijinkanku untuk bersekolah di sini dengan syarat aku tidak boleh mengeluh berada di kota orang. Kota Denpasar.

Saat MOS saja aku sangat susah mengakrabkan diri dengan teman-teman satu kelompokku. Kebetulan saat itu kakekku meninggal, jadi aku tidak hadir MOS selama 3 kali dan itu membuat anak-anak bertanya-tanya “siapa sih anak Gianyar itu?”.
Rambut terjalin sangat rapi dan poniku kujepit ke atas karena terbiasa dengan keadaan saat MOS yang tidak memperbolehkan siswa baru putri menggunakan poni ke sekolah. Baju besar, dan rok menutupi setengah betisku. Jujur saja, aku masih bisa merasakan terjangan-terjangan tatapan yang tajam kakak kelasku saat MOS itu. Menyeramkan hingga terbawa selama aku duduk di kelas 1 SMA. Takut sekali, tak ada niat sedikit pun untuk mencari suatu masalah atau membuat suatu sensasi di sini.
Sehari menjelang pemilihan Ketua OSIS  baru aku mendengar desisan suara-suara seperti ini di pagi hari,
“Eh aku udah add facebooknya kak Aryawan loo. Tapi belum di konfirmasi.”
Satu persatu teman-temanku menambahkan dia sebagai teman, tetapi setelah lama, permintaan teman mereka tetap diabaikan oleh kakak kelas idaman teman-temanku itu. Setelah sekian lama, aku pun ikut menambahkan dia sebagai temanku di facebook, tapi anehnya dia langsung menerima permintaan pertemananku tanpa aku harus menunggu lama.
            Dan ada lagi tugas dari pengurus ekstrakulikuler jurnalistik di sekolahku, yaitu wawancara OSIS angkatan 33. Anehnya lagi, aku mendapatkan bagian untuk mewawancarai kakak kelas idaman teman-temanku itu.
“Saya sudah pernah bilang sebelumnya, satu salah, berarti kalian semua ikut salah. Jadim ketegasan yang kami berikan adalah kalian harus membuat profil OSIS. Deadline-nya 3 hari” kata seorang kakak pengurus dengan aksen yang sedikit membentak.
Sungguh menyeramkan berhadapan dengan OSIS. Tetapi, apa boleh buat. Hari pertama, aku melihat dari kelas atas dia berjalan menuju arah kelasnya, aku berlari dengan cepat menuruni tangga dan dengan sopan aku bertanya,
 “Permisi kak, saya mendapatkan tugas dari kakak pengurus ekstra untuk mewawancarai kakak, apa kakak...” Belum selesai berbicara, dia sudah memotong pembicaraanku dengan angkuhnya,
 “Cari OSIS yang lain saja!” dan dia pergi.
Sungguh sosok yang dingin, yang sangat susah memberikan senyuman. Dan aku menangis karena aku adalah orang yang paling tidak bisa jika ada yang tidak merespon pembicaraanku.
Deadline tinggal 2 hari lagi, tetapi ia tetap saja menolak untuk aku wawancarai. Hingga kakak-kakak pengurus kami memberikan waktu tambahan. Anehnya ia selalu menampakkan dirinya di depanku, seakan-akan berharap agar aku memohon lagi dengannya dan dia akan menolak untuk aku wawancarai. Tidak hanya di sekolah, di situs jejaring sosial Facebook pun ia kerap mengirimkan aku Chat atau obrolan yang menyangkut pautkan tentang Divisi Trisma, hingga akhirnya aku berhasil dan dia bersedia untuk di wawancarai, tetapi dia memberikan syarat untukku, yaitu aku harus menunggunya hingga ia selesai mendapatkan suatu akselerasi mata pelajaran.
Dengan sangat terpaksa aku merelakan seleksi Debat Bahasa Inggris untuk lomba yang sudah aku lewati satu putaran. Aku menunggunya di depan Lab.Kimia. dengan perut sakit menahan lapar dan maag. Aku lapar, tetapi tidak berani meninggalkan tempat itu agar kakak idaman teman-temanku itu tidak kabur seperti saat-saat sebelumnya. Kurang lebih sekitar pukul setengah 6 sore, dia keluar dari laboratoruim dan aku dengan cepat berlari ke arahnya untuk mewawancarainya. Sungguh dia orang yang aku benci. Tetapi, setelah mewawancarai wakil 1 OSIS itu, aku merasa semakin penasaran dengan kepribadiannya, dengan latar belakangnya, bahkan aku sangat bersikeras untuk melihat senyumnya yang sangat sulit ia pancarkan.
Saat aku mulai santai, namaku dipanggil oleh kakak-kakak OSIS, beserta beberapa orang lainnya. Ternyata kami dipercaya untuk menjadi panitia kegiatan Bulan Bahasa di Sekolaku.. Mungkin hanya kebetulan, atau mungkin ada sesuatu dari semua ini? Lelaki itulah yang sekarang menjadi koordinator OSIS dari acara yang aku pegang, yaitu pameran buku. Otomatis aku akan sering berkomunikasi dengan dia. “apa-apaan ini?” perasaanku tidak biasa, meletup-letup dan bahkan aku ingin tersenyum.
Aku jalani saja, hingga bersemi juga di SMS. Semua kita jalani dengan diam-diam tanpa sepengetahuan orang-orang di sekolah. Bahkan aku merasa dekat dengannya. Aku penasaran, sangat penasaran mengapa ia sangat jarang tersenyum di sekolah. Dan suatu hari ia menyuruhku mencarinya di perpustakaan sekolahku. Katanya ia ingin memberikan senyuman termanisnya untukku.  “Ada apa ini Tuhan?”.
Di sanalah semuanya berawal. Kedekatan kami bukan sebatas kakak dan adik lagi. Tetapi ia berpesan, “Jangan pernah kamu menceritakan semua ini kepada siapapun. Semoga kamu tidak keberatan menjalani hubungan ini dengan kakak” Katanya sambil tersenyum lepas. Sangat manis. Memang ini dilema, aku takut teman-temanku merasa kesal denganku. Karena awalnya aku memang membenci dia, tetapi aku merasa munafik, aku terpesona oleh sosoknya.
Lambat laun kedekatan kami sudah menjadi rahasia umum. Dari banyak yang tidak percaya, banyak yang menghujatku, sakit rasanya mendengar sindiran-sindiran yang keras di telingaku. Tetapi seiring waktu berlalu, semua berubah. Inilah yang disebut indah pada waktunya. Kakak-kakak kelasku semua sudah mulai kurasa bersahabat. Walaupun tidak secara gamblang. Dan aku tetap menghormati mereka sebagai kakak kelas.
Walaupun setiap hari aku dan dia bertemu di sekolah, tetapi sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah aku berbicara dan melihat matanya. Aku tidak berani. Bagaimanapun, ini sekolah. Dan sudah tradisi OSIS tidak boleh memberikan senyuman kepada adik kelasnya. Setelah aku terbiasa, ada yang aneh dari dirinya, dia kerap memberikan senyumannya untukku. Tidak peduli di depan umum. Dia mengaku, semakin lama, rasanya semakin susah untuk tidak memberikan senyumnya kepadaku, bukannya semakin terbiasa.
Aku sadari, dia sosok yang hangat. Tidak seperti awal kedok yang ia gunakan. Dingin. Menyebalkan dan aneh. Kisah ini tidak mengharukan, tetapi lucu walaupun bukan komedi. Seorang Tara bersanding dengan seorang yang bisa dikatakan “tenar” di sekolah. Padahal aku hanyalah seorang perantau yang tidak se”jago” dia dalam banyak hal. Saat ini cerita ini belum berakhir, kisahku di Trisma memang lebih didominasi dengan kisah kasih dengan dia. Hingga detik ini, dan aku harap seterusnya.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar