Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

Puncak Pertama

             Suara bising terdengar dari segala penjuru. Meja dan kursi tak berada ditempat yang seharusnya. Seperti kapal pecah! Yah, itulah kelasku ketika tidak ada guru yang mengajar dikelas.

“Temen-temen, ada pengumuman nih dari Pak Merta tadi, tolong dong tenang dulu!” teriak Yogi, si ketua kelas. Para penghuni kelas langsung menghentikan semua kicauan mereka dan mendengarkan Yogi.
“Kata Pak Merta, kelas XI-nya tanggal 17 ini mendaki ke Gunung Abang. Terus untuk pembayarannya bisa dibayar mulai besok di bendahara!” sambungnya.
Setelah mendengar pengumuman itu, suasana kelas kembali seperti pasar umum. Semuanya semakin seru membicarakan rencana mendaki ke gunung.
“Kok semua orang semangat banget sih baru mau mendaki gunung?” ucapku pada Marina, teman sebangkuku.
“Jelaslah, Regi. Mendaki itu kan seru banget. Emangnya kamu nggak seneng mendaki?”
“Bukannya nggak seneng. Cuma, setiap mendaki gunung, aku nggak pernah bisa sampe dipuncaknya,” terangku
“Ayolah, Regi. Semangat dong! Masa sama gunung aja kalah. Kalo niat, pasti bisa. Kamu harus ikut pokoknya. Titik!”
“Iya deh, aku ikut. Tapi, nanti pas udah mendaki, kamu harus bareng sama aku ya. Aku jangan ditinggal. Aku bukan anak gunung kayak kamu, jadi nggak bisa cepet-cepet,”
“Siapa bilang aku anak gunung? Tapi tenang aja, aku bakalan tungguin kakimu yang lelet buat naik ke puncak gunung,” ledek Marina.
“Adooh.. ribut aja kerjaan dua orang nih,” Ika tiba-tiba datang ke arah kami.
“Nggak ribut kok, cuma debat aja. Hehe,” sahut Marina
 “Ika, nanti pas mendaki gunung, kamu harus bareng sama aku ya! Marina jelek nih, aku nggak mau diajak,”
“Iiih.. boong banget Regi nih,” ucap Marina.
“Udah deh, kita naiknya bareng-bareng aja nanti. Gitu aja repot banget,” sela Ika
“ Oya, jangan lupa bawa kamera DSLR-mu ya! Biar bisa fotoan pas sampe di puncak,” aku menepuk pundak Ika.
“Tenang aja. Tapi, kamu yakin bisa sampe puncak, Reg?” Ika seolah nggak percaya.
“Iiih.. Kok semua jadi nggak yakin sama kemampuanku sih?”
“Bukannya gitu. Tapi, inget nggak waktu kita mendaki ke Gunung Batur? Belum juga sampai puncak satu, kamu udah turun duluan,” ledek Ika
“Neh, kan. Apa kubilang! Kakimu tuh emang lemot,” tambah Marina.
Aku jadi merasa di bully mendengar kedua temanku berkata begitu. Okelah, kuakui kalau aku memang tidak pernah “kuat” berjalan ditanjakan panjang seperti gunung. Tapi, akan kubuktikan pada mereka kalau aku bisa!
***
Dan hari itupun tiba. Seperti biasa, kalau mendaki, pasti berangkatnya dengan truk. Biarpun begitu, semangat orang-orang didalam truk nggak surut. Suasana kebersamaan sudah terasa ketika kami kompak bernyanyi dan bercanda selama perjalanan. Dan aku harap, semangatku masih seperti ini ketika mendaki.
Setelah kami tiba, kini saatnya untuk memulai pendakian. Sudah kuduga, Marina Si Anak Gunung yang semangat pasti sudah berjalan duluan. Kini hanya tingal aku dan Ika yang berjalan perlahan menuju puncak untuk menghemat tenaga.
“ Semangat banget ya Marina. Biarpun kecil, tapi dia udah jauh banget didepan,” cetusku
“ Kamu kan juga kecil, Reg. Harusnya bisa dong kayak dia,” tukas Ika.
Ya, aku memang kecil, tapi kan tiap orang beda-beda. Marina itu memang seorang atletik. Lalu aku? Hanyalah siswa biasa.
Semakin lama berjalan, kakiku semakin pegal. Apalagi jalan digunung itu nggak kayak di jalan raya yang mulus diaspal. Dan ternyata nggak cuma aku yang mulai lelah, tapi Ika juga mulai memelankan jalannya dan mengeluh. Namun, semuanya jadi berubah ketika ada rombongan siswa lainnya yang lewat dan mengajak kami untuk lanjut.
Karena semakin ramai anggota rombongan, akupun nggak merasa telah terpisah dari Ika. Dan semakin lama, jalur pendakian semakin sempit dan menyeramkan. Semua orang yang tadinya aku ajak berjalan semakin terpencar. Aku jadi semakin takut, bahkan aku nggak berani menoleh kearah lain kecuali memperhatikan jalan. Dan yang membuatku semakin takut, yang berjalan bersamaku didominasi oleh siswa laki-laki yang tidak aku kenal. Tapi.. tunggu dulu. Salah! Bukan semuanya yang aku nggak kenal. Tapi ada satu yang aku tahu. Dia adalah Jo.
Baiklah, Jo adalah teman yang nggak sekelas denganku. Menurutku, dia orang yang menarik dan juga mungkin baik. Tapi, sepertinya dia nggak mengenalku. Okelah, aku tebak ini akan membosankan karena nggak ada yang bisa aku ajak ngobrol selama perjalanan. Bisa-bisa aku nggak jadi sampai puncak lagi.
“ Masih lama nggak ni jalannya, Bro?” ucap seorang siswa laki-laki yang berjalan paling depan kepada teman-teman dibelakang.
“Kayaknya masih. Udah, jalan aja terus,” sahut Jo
“Siapa yang paling dibelakang, Jo? Kayaknya kita makin sedikit aja,”
Jo lalu menoleh kebelakang. “Regina yang paling belakang,”
Mendengar ucapan Jo, aku jadi kaget. Nggak, ini kaget yang dobel. Yang pertama, ternyata aku orang yang jalan paling belakang dan aku adalah cewek. Yang kedua, ternyata Jo mengenalku. Untuk siswa tertutup sepertiku, ternyata ada juga orang seperti itu yang mengenalku. Memang, aku dulu pernah berbicara dengan Jo sewaktu kelas X. Tapi itu sudah lama sekali. Dan dia masih mengingatku. Kukira itu hanya percakapan singkat saja.
Mungkin, setelah Jo menyadari bahwa seorang cewek yang paling belakang, ia lebih memelankan jalannya. Dan nggak cuma itu, dia juga banyak membantuku ketika melewati jalur yang sulit dilewati. Seperti yang ada didepanku ini, seperti tangga yang sangat besar. Aku nggak bisa ngelewatinnya. Dan yang membantuku adalah, Jo.
“Sini aku bantu, Reg,” Jo mengulurkan tangannya
“Iiiya,” jawabku pelan. Kemudian Jo berjalan dibelakangku. Sekarang bukan aku yang paling belakang. Namun, jika ada jalur yang sulit, Jo akan kembali menolongku dan berjalan didepanku.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya hampir sampai dipuncak. Dan kini adalah jalur sulit yang terakhir. Dan lagi-lagi, Jo membantuku. Namun, setelah itu aku mendengar ada yang memanggil namaku dari tempat yang nggak jauh. Ternyata itu Marina.
“Reginaa! Tunggu aku,” teriaknya dari belakangku.
“Lho? Marina? Kok kamu bisa ada dibelakangku? Aku kira kamu udah di puncak,” heranku
“Yee.. tadi aku dapat istirahat bentar. Terus aku juga tadi lihat kamu lewat. Tapi kamu nggak lihat aku sih,”
“Hehe maaf. Aku ngeri sama jalur kayak gini. Nggak berani tolah-toleh deh,”
“Iya, kamu nggak berani tolah-toleh. Soalnya daritadi dibantuin dan jalan sama.... Jo!” Marina mengucapkannya dekat telingaku.
Yah, Marina mungkin benar. Dia adalah teman curhatku. Dia tahu semuanya tentangku. Termasuk yang menyangkut Jo. Dulu memang aku sempat nge-fans dengan Jo. Tapi aku nggak nyangka sekarang dia bisa membuatku mendaki sampai ke puncak untuk yang pertama kalinya. Terima kasih, Jo.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar