Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

MESIN PEMBUNUH

Bintang-bintang nampaknya sudah hilang satu per satu kembali keperaduannya, tapi kami masih disini, menunggu sebuah pencapaian yang kelak akan membuat kami bangga.
            Akhirnya Goresan pena yang kami tuangkan dalam bentuk majalah, meraih juara II lomba Majalah sekolah terbaik seBali. Walau sebelumnya kami dibuat kesal oleh panitia penyelenggara lomba, yang melonggarkan jam acara. Namun senyum mentari mengawali perjuangan kami hingga bulan hilang dimakan waktu. Dan esok kamipun harus kembali kedalam hiruk piruk dunia pendidikan, meski kami merasa sangat lelah karena ini sudah lewat tengah malam. Kami pun membuat kesepakatan untuk datang ke sekolah lebih siang dari biasanya.
            Aku pun pulang dengan perasaan senang dan berharap besok akan disambut gembira oleh teman-teman dan para guru di sekolahku. Keesokan harinya aku datang saat jam pelajaran pertama usai, kebetulan saat itu aku mendapat pelajaran matematika yang diajar oleh pak Dewa. Tapi coba tebak apa hasil pengorbananku dan teman-teman semalam. Aku yang telah berkorban untuk memperjuangkan nama baik sekolah di hina dan tidak di hargai oleh pak Dewa yang membenciku sejak awal. Teman-teman sekelasku pun menceritakan apa saja yang terjadi barusan. Pak Dewa mengataiku “sombong, angkuh, manja, priyayi !!” dan masih banyak lagi kata-kata yang terlontar dari mulutnya yang membuatku tertekan dan rapuh. Aku tak tahu apa salah ku kepadanya. Jika aku mengingat hal ini rasanya aku dibawa kembali ke masa lalu ku yang suram, episode hitam dua tahun lalu yang menyebabkan mengapa Pak Dewa sangat membenciku.
            Saat itu aku adalah murid  kelas VII yang baru saja masuk di sekolah ini, aku merupakan salah seorang anggota dari salah satu keorganisasian yang ada di sekolah, dan pada saat kami melaksanakan suatu kegiatan. Aku memberanikan diri mengendarai dan memasukkan motorku ke dalam sekolah karena biasanya aku melihat kakak kelasku melakukan hal itu. Namun yang terjadi bertentangan dengan pemikiranku. Aku di jegat oleh pak Dewa di halaman depan. Cacimakinya membuatku malu. Kakak kelas, teman dan orang-orang sekolah seakan melihat “bioskop spontan”. Tragedi adu mulut dan saling membela diri pun terjadi antara aku dengan pak Dewa. Fantastis!!! Aku sangat berani dan tanpa berpikir panjang emosiku mengelunjak untuk terus berusaha mempertahankan ambisiku kalau apa yang aku lakukan ini benar. Pak dewa mengancam akan memukul dan mengeluarkanku dari sekolah. “Stop! Sini kamu dulu! Baru kelas VII udah berani bawak motor ke sekolah!” bentaknya. “Biasanya juga gak ada yang melarang ! kakak kelas juga banyak bawak motor pak!” sahutku. “Berani macam-macam kamu sama saya ? Kamu mau saya pukul ?!” bentaknya lebih keras. “Harus mukul pak ? saya bisa lapor bapak ke polisi!” Jawabku ikut membentak. “Silahkan keluar dan cepat pulang !” Galaknya dengan sangar. “Ya saya pulang sekarang!” dari sinilah tragedi bersejarah ini dimulai.
            Hari pun berlalu dan berganti lagi. Akhirnya tiba saatnya hari penyerahan piala kemenangan majalah itu. Dari rumah aku sudah bersemangat untuk menyerahkannya kepada kepala sekolahku. Namun nasib berkata lain, saat itu. Lagi dan lagi pak Dewa lah yang menjadi pembina upacara, karena kepala sekolah kami ada rapat penting di suatu instansi di kota kami. Aku pun tak heran. Pak Dewa memang salah seorang yang memiliki jabatan penting di sekolahku. Kesal, emosiku terasa sudah menusuk urat nadiku yang mulai mengkaku ini. Aku sangat tidak ingin menyerahkan simbol kemenanganku, kepada orang itu! Saat namaku disebut MC untuk menyerahkan piala, aku dihadapkan pada dua pilihan dan situasi kritis. Maju atau harus tetap berdiam di barisan. Tapi aku ingat, pembina majalah kami pasti sudah siap dengan senyum sumbringahnya dan standing applous yang keras untuk kami. Aku harus menjaga hati dan perasaannya. Walau berat dan setengah hatiku tuk melakukannya. Dengan terpaksa aku maju dan harus menyerahkan penghargaan itu kepada Pak Dewa. Mungkin pak Dewa memiliki banyak opini tentangku yang membuatnya selalu ingin mempermalukanku dimanapun selama ia bisa. Tangan kami sudah saling bersentuhan, saat menyematkan salaman tanda selamat. Ia seakan-akan tidak mengenalku di sekolah ini. Kata-kata manisnya terucap saat aku menyerahkan piala kepadanya. “Selamat kepada tim majalah kita, kalian memang anak-anak yang patut dibanggakan” lontarnya dengan pandangan dan nada sinis ke arahku. Namun ucapan yang terucap dari mulutnya saat peristiwa sehari setelah kami meraih penghargaan itu. Bagaikan bumi dan langit yang mungkin tidak akan pernah bertemu.
            Jam demi jam berlaku dan akhirnya menjadi hari. Bu Amy, seorang guru yang sangat dekat denganku. Hanya tertawa saat kuceritakan insiden itu. Namun Bu Amy selalu mengajarkanku sabar dan tegar. “sudaah santai sajaa... tetaplah tersenyum walau itu dengan orang yang tidak kau sukai” kata-kata yang  selalu kudengar darinya ketika aku sedang dihampiri masalah seperti ini. Pahit manisnya keadaan telah ku rasakan disekolah ini. Mungkin pak Dewa menyimpan dendam pribadi kepadaku sehingga menyebabkannya selalu sentimen dan mencari kesalahan kecilku untuk ia besar-besarkan. Bahkan ia ibarat mesin yang tak berperasaan yang berusaha membunuhku dengan kewenangannya memvonis jumlah nilai matematika yang akan aku dapat di rapor nanti. Sungguh kekanak-kanakan sifatnya. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku  untuk tetap belajar. Malah aku jadi tambah bersemangat dan berusaha untuk mengukir nilai sebesar-besarnya dan seindah mungkin di raporku nanti.
            HAA... HAA... Guru Matematika gila, mungkin itu sebutan yang paling pantas untuknya. Matematika = Makin Tekun Makin Tidak Karuan. Tepat! Aku harap, makin lama ia hidup, maka makin tidak karuanlah hidupnya. Inilah doa dari muridmu yang sangat “menyayangimu” ini pak.
            Sudahalah. Yang dulu biarkan lah berlalu. Andaikan seorang pendaki “semakin tinggi engkau melangkah maka semakin kencang angin yang menerpamu” dengan bertambahnya usia, maka tantangan dan cobaan hidup juga akan bertambah sulit. Mungkin ini peribahasa yang paling tepat mewarnai perasaanku saat ini. Aku yakin dan percaya, tiba saatnya nanti aku akan tertawa melihat orang berdosa yang pernah menyakitiku menjadi seorang pecundang di depan mataku. Aku akan berusaha untuk selalu memaafkan orang-orang yang pernah melukai hatiku. Karena dimaafkan bukan berarti dilupakan.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar