Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

SOSOK PENENANG JIWA

             Waktu tak bisa dihentikan. Tuntutan pekerjaan memaksa untuk segera diselesaikan. Suara detik jam turut menjadikan suasana semakin mencekam. Entah sudah berapa keluhan yang keluar dari mulutku, entah sudah berapa kali air mata yang aku buang percuma karena tidak kuat menahan semua beban tugas ini. Ingin rasanya aku berteriak kepada dunia, supaya mereka tau bagaimana susahnya di posisiku. Keadaan ini sanggup membuat aku menjadi seorang gadis yang labil. Hingga akhirnya, setiap orang yang berbicara kepadaku, kutanggapi mereka dengan ketus. Setiap pelajaran yang kuterima, seakan-akan tidak diserap dengan baik oleh otakku. Aku kesal, marah, resah, dan lelah akan semua ini. Disaat seperti ini, hanya ia satu-satunya pelabuhanku. Kuceritakan semua kekesalanku padanya, kuluapkan semua kejenuhanku padanya. Walau hanya isak tangis dan air mata yang ku keluarkan, namun aku yakin, ia bisa mengerti semua masalahku.

 Nathan, hanya sosoknya yang dapat menenangkanku. Ribuan kalimat ajaib terlontar dari mulutnya. Dan seakan terhipnotis, semangatku mulai membara. Segala beban hilang seketika jika ia turut menemaniku melawan hari demi hari. Dan pada akhirnya, berkat semua dorongan serta perhatian yang tak henti-henti darinya, aku mampu keluar dari segala beban tugas organisasi maupun tugas sekolah selama ini. Aku sangat menyayanginya.
“Makasi, ya. Berkat kamu, semuanya udah selesai!” ucapku padanya.
“Ah, gapapa, kok. Kan kita harus saling nyemangatin.”ucapnya sambil tersenyum. Senyum itu bagaikan sengatan listrik yang menjulur disekujur tubuhku. Aku tak ingin kehilangan senyum itu.
“Oh ya, besok  aku ada rapat. Jadi pulangnya kita nggak bisa bareng-bareng.” Tambahnya.
Sejenak aku sedikit kecewa, tapi akhirnya aku mengangguk juga. Dan kemudian, kami berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Keesokan harinya, seperti biasa, suasana Trisma dipenuhi oleh hiruk pikuk anak-anak yang menuntut ilmu. Atau mungkin sebagian hanya ingin bertemu dengan teman-temannya. Tapi, kali ini terasa ada yang beda dari biasanya. Seperti ada yang kurang. Setelah berfikir sejenak dan meyakinkan diri, akhirnya aku tersadar. Sejak istirahat pertama tadi, mataku tak menemukan sosok yang selalu aku rindukan. Setiap sudut kantin ak jelajahi, tetapi nihil. Tak ada wajah yang selalu menghiasi hari-hariku itu. “mungkin dikelasnya.”pikirku.
Jam pelajaran akhir pun selesai. Aku meregangkan otot-otoku yang kaku tadi, sungguh bosan mendengar guru berceramah panjang lebar. Setelah itu, aku menunggu kedatangan Nathan. Namun sampai kelas sepi pun ia tak kunjung datang. Aku bosan jika terus begini. Maka dari itu kuputuskan untuk mencarinya dikantin. Dan sesampainya di kantin, sama sekali tak terlihat wajah tampannya. Aku sudah putus asa, hingga akhirnya aku terpaksa pulang dengan perasaan yang putus asa.
Sampai di rumah, ku rebahkan tubuhku di ranjang. Menatap langit-langit dan larut dalam lamunanku. Kemana dia? Kenapa tidak menemuiku? Aku tak lupa jika ia ada rapat hari ini, tapi setidaknya ia bisa menghampiriku ke kelas walau hanya mengucapkan “daah, hati-hati dijalan, ya!”. Seketika rasa nyilu menyerang dadaku. Tanpa bisa menahannya, air mataku meluap. Mengungkapkan segala kegundahanku. Tak sanggup menahan kesedihan itu, aku pun terlelap dalam tidur.
“drrrrt drttttt drttttt”
Handphoneku bergetar. Sedikit terkejut, aku bangun dari tidurku. Kulirik jam dinding, ternyata sudah jam 4 sore. Kulihat pada layar handphoneku, nama Nathan tertera pada layar.

“Ya, hallo?”ucapku setengah sadar.
“maaf, aku baru ngabarin. Ak baru pulang, tapi sebentar mau ke rumah Mila. Ngerjain   proposal.”ucapnya.
Aku mendengus kesal. “oh yaudah deh, daah.”ucapku mengakhiri obrolan.
Mulai saat itu, aku sudah semakin jarang melihatnya. Sering tak ada kabar dan kurasa ia sangat sibuk. Aku merasa sangat kecewa dengannya. Kenapa ia bisa bersikap seperti in? apakah aku tidak penting dimatanya? Entah sudah berapa kali aku menangis. Aku kesal padanya, aku tidak terima jika ia lebih mementingkan pekerjaannya. Suatu hari, aku mogok bicara padanya. Aku ingin ia sadar bahwa aku butuh waktunya sedikit saja. Yang dipikiranku, ia sudah berubah. Ia bukan Nathan yang ku kenal dulu. Tak ada lagi senyum yang selalu aku rindukan. Semuanya sirna. Semuanya hancur. Aku benci padanya.
Sampai akhirnya, ia menyadari sikapku. Ia terus berusaha menanyaiku. Tapi aku tetap diam membisu. Sungguh rasanya aku kesal sekali. Seharusnya dia sadar jika aku sangat membutuhkannya waktunya walau sedikit saja. Tapi nyatanya apa ? Ia malah marah-marah kepadaku.
“kamu ini kenapa, sih? Marah nggak jelas! Males aku kalo kaya gini!”ucapnya.
“hah?  Marah nggak jelas? Semua ini gara-gara kamu tau! Kamu nggak pernah ada waktu lagi buat aku. Kamu jahat!” Kataku seraya meninggalkannya. Wajahku terasa sangat panas. Aku tak sanggup lagi menahan air mata yang sejak tadi ingin meluap keluar.
Sudah dua hari sejak kejadian itu. Aku sama sekali tidak berbicara sedikit pun dengannya. Ada perasaan rindu yang selalu mengoyak hatiku. Sekelebat peristiwa di masa lalu muncul silih berganti. Memperlihatkan betapa pedulinya ia padaku. Betapa banyak waktu yang ia korbankan hanya untuk diriku. Bersamaan dengan itu aku tersadar. “Aku yang egois! Aku yang nggak ngerti perasaannya dia! Aku yang nggak peduli sama dia!” teriakku. Aku berjanji, besok aku akan menemuinya. Tak bisa ku ingkari, aku sangat merindukannya. Betapa bodohnya aku sampai-sampai aku menyia-nyiakannya. Betapa egoisnya aku sampai-sampai membuatnya menderita. Aku sangat mencintainya, hanya dia yang aku inginkan. Aku tak bisa apa-apa tanpa dia.
“Nathan, aku mau bicara.” Ucapku sesampainya aku disekolah keesokan harinya.
“apalagi? Kamu mau marah-marah lagi? Aku nggak ada waktu!” jawabnya ketus.
“bukaan! Maafin aku! Aku udah buat kamu sedih. Aku egois! Kamu selalu ada saat aku perluin. Tapi aku? Aku Cuma bisa ngeluh dan marah-marah aja saat kamu lagi butuh aku. Maafin aku. Aku menyesal sekali. Aku ingin kita balik lagi kayak dulu. Aku kangen banget sama kamu!” kataku terisak karena tak kuasa menahan tangis.
Seketika suasana jadi sunyi. Aku takut jika ia tak mau memafkanku. Aku takut jika aku akan kehilangan ia untuk selamanya. Tiba-tiba Nathan memelukku pundakku.
“sudaah. Aku tau kok kamu kesepian. Aku juga minta maaf, aku lagi sibuk ngurus programku. Mungkin aku jadi sedikit jarang bareng kamu. Aku mohon kamu bisa ngerti ya.”ucapnya halus.
Tak ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Hanya anggukan kecil yang dapat aku lakukan. Betapa bodohnya aku membenci laki-laki seperti dia. Apa yang bisa aku lakukan tanpanya? Dia lah yang paling mengerti aku. Terima kasih pun tak luput aku panjatkan ke Tuhan sebab aku telah diberikan anugrah yang sangat indah dan harus kujaga. Karena dengannya, aku bisa melakukan apa saja yang tak pernah aku sangka sebelumnya.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar