Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

Kekayaan Untuk Kami, Terimakasih Untuk Mereka

            Angin berdesir lembut dan sedikit basah. Serupa pagi-pagi sebelumnya di pengawal bulan Maret. Hujan tadi malam masih menyisakan butir-butir embun di atas rerumputan liar dan beberapa rumpun padang ilalang di belakang rumah. Pagi ini memang hujan tak turun lagi, namun mega-mega kelabu masih setia menggelayuti langit berpasang layang-layang. Aku menggeliat malas, kelopak mata yang sempat terbuka kini terpejam lagi, menyusuri ulang bunga tidur yang sempat terpenggal.  Aku enggan untuk menyambut pagi yang lembap ini. Namun, seketika Ibu masuk tanpa permisi dan dengan gerak gesit ia membuka tirai jendela berterali besi itu; menghadirkan secercah cahaya pagi tanpa matahari. Mataku dipaksa menerawang cahaya itu. Cahaya redup tanpa matahari itu, menghadirkan pemandangan halaman belakang rumah yang seminggu ini tak terawat. Dedaunan pohon trembesi ditempat itu ditiup angin lembut, menimbulkan suara yang menyeruak riak mengusik pendengaranku dan memenuhi halaman belakang rumah yang kosong. Tepat disebelahnya, berdiri tegak sekuntum bunga bakung yang masih saja sama seperti dulu. Gelagatnya pelan tanpa gairah berarti. Ya, bakung itu masih sama. Tak seperti hatiku. Semenjak kejadian itu, jangan pernah samakan diriku dengan gelagat bakung yang selalu sama. Hanya sedikit hal yang aku ketahui sebagai seorang remaja mengenai penghidupan, cinta, dan ketulusan hati. Namun, semua akan berubah, saat seseorang datang dan merubah sudut pandang kita, mencairkan hati yang sempat membeku akan sebuah perasaan kasihan terhadap orang lain. Dan aku tak akan pernah sama.
Aku terduduk diam, pandangan mataku menerawang jauh sembari membuka kenangan berharga dimasa lalu itu, masih terekam jelas dalam benakku seberkas pengalaman yang masih hangat dan tak tersamarkan oleh sang waktu. Ibu duduk terngiang; diam tanpa sepatah katapun terlontar dari bibirnya yang gemetar. Matanya jauh menerawang langit kelam, sekelam hatinya. Jiwanya masih nelangsa. Bahkan, setelah empat hari keputusan pahit itu diambil,  Ibu masih saja mengharu biru tatkala mengenang apa yang terjadi. Dibenaknya melayang beribu kemungkinan yang membuat hatinya terperih. Aku masih memandang Ibu tanpa berkata apapun. Lidahku kelu, mulutku terkunci rapat. Tak ada satu patah kata pun terlontar dari bibirku. Inilah kesedihanku yang mendalam; melihat sosok wanita yang melahirkanku terisak tangis. Berhenti bekerja memang bukan perkara yang mudah bagi wanita karir yang telah 19 tahun bergelut dengan pekerjaan yang ia cintai. Namun, pemberhentian Ibu dalam bekerja memanglah telah menjadi keputusan akhir yang harus diambil. Kantor dinas ayah yang harus berpindah membuat Ibu harus rela mengorbankan pekerjaannya sebagai taruhan. Kegemaran dan keahliannya dalam bidang farmasi memang tak perlu diragukan lagi, tapi apa mau dikata. Kantor dinas ayah yang harus dipindah dari sebuah kota yang ramai, metropolitan, dan penuh akan hiruk pikuk; kota Denpasar ke sebuah tempat di pelosok pedalaman Kabupaten Gianyar tepatnya di Desa      Ketewel. Aku meyakini, google map pun tak akan mencantumkan tempat ini dalam daftarnya. Bagai terpenjara. Tempat ini sangat terpencil, bahkan ironisnya tak ada satu pun tetangga yang bernaung di samping rumah yang nantinya aku tinggali. Rumah ini memang cukup nyaman, namun ukurannya lebih kecil jika dibandingkan rumahku di Denpasar. Aku tak pernah mengetahui bahwa ayah memiliki rumah di daerah terpencil seperti ini. Yang aku tahu hanya, ayah memiliki sebidang tanah di Kabupaten Gianyar selain kampung halamanku. Luas tanah di rumah ini hanya 1500 meter2, berlantai dua, dan tanpa adanya lahan yang cukup hanya untuk sekadar bermain dengan anjing peliharaanku. Perpindahan kami pun dipersiapkan.
Pekerjaan Ibuku memang sangat penting dalam menunjang perekonomian keluarga kami. Namun, saat pekerjaan itu harus direlakan, keadaan perekonomian pun akan menjadi sulit. Disamping itu juga, kakakku sedang menjalani kuliah di Jakarta dan tentunya membutuhkan banyak biaya. Disamping itu juga, aku yang baru lulus SMP dan telah diterima di SMA favorit Kota Denpasar. Biaya yang dikeluarkan memang tidak sedikit. Dan tentu saja, sebagai seorang kepala keluarga dan hanya seorang diri yang memiliki pekerjaan di dalam rumah tangga bukanlah perkara mudah bagi ayahku untuk dapat membiayai seluruh kebutuhan keluarga kami. Kehidupan memanglah terus berputar bagai roda. Dan kita tidak akan pernah mengetahui kemana sang nasib akan menuntun kita. Keluarga kami mengalami perekonomian yang sulit pada masa ini.
Banyak dari sanak keluarga kami yang memberikan semangat untuk dapat bertahan di tengah kesulitan ini. Termasuk dua sepupuku dengan ayahnya yang notabena adalah kakak dari Ibuku. Hujan sedang mengguyur daerah Ketewel saat mereka berdatangan dengan motor tua mereka. Ya, keadaan keluarga mereka pun lebih menyedihkan daripada keluargaku. Ibuku mempersilahkan dua sepupuku ini masuk tanpa basa-basi lagi, karena baju mereka basah dan keadaan udara yang dingin akan membuat mereka flu nantinya. “Mau teh atau susu?”, tanya Ibuku ramah. “Tidak usah, Tante.”, jawab mereka tersenyum sungkan. Penolakan itu tentu saja tak digubris dan hanya akan menjadi sekadar basa-basi karena Ibuku tetap saja membuatkan mereka susu coklat hangat. Sembari menunggu Ibuku yang membuatkan minuman di dapur, mereka terlihat heran. Heran melihat keadaan rumah kami yang sederhana bagiku namun mungkin saja mewah bagi mereka. Mereka selalu saja memutar dua bola mata hanya untuk sekadar melihat keadaan rumah kami.
Setelah lama berbincang-bincang antara Ibu dan pamanku, tiba-tiba saja saudara sepupu perempuanku itu berkata, “Tante kaya sekali ya!”. Hal itu tentu saja mengejutkanku dan tentunya Ibu. “Ah! Tidak kok, Tante biasa, sederhana.”, tukas Ibuku. “Rumahnya besar, lantai dua, barang-barangnya bagus, punya mobil lagi”, jawabnya polos. Ibuku ternyenyuh mendengar pernyataan sepupuku itu. Hatinya tersentuh akan sebuah perasaan bersyukur. Ibuku dihinggapi semacam rasa bersyukur yang aneh, sebuah perasaan bersyukur dalam dimensi lain yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ibuku tersadar akan apa arti dari sebuah kekayaan yang sebenarnya. “Ya, akulah wanita kaya.”, bisiknya. Kaya tidak berarti hanya dalam bidang materi. Namun, Ibuku memiliki suami yang selalu mencintainya, yaitu ayahku. Ibuku memiliki dua buah hati yang sedang tumbuh menuju kedewasaan. Ibuku memiliki sebuah atap rumah untuk bernanung. Ibuku memiliki ribuan kekuatan cinta dan semangat dari saudara-saudaranya. Kami kaya, kaya akan cinta dan kasih sayang. Bahkan, materi pun tak dapat menggantikan semuanya. Tak akan dapat.
Setelah hujan mereda, dan saat perut sepupuku dan ayahnya sudah terisi dengan cukup untuk melawan rasa dingin dari sisa-sisa hujan tadi, mereka pun pulang. Aku menoleh lagi ke arah kepergian mereka, diantara kehidupan seseorang yang berlimpah materi, diantara etalase-etalase megah gedung, diantara rasa sedih dan sesal yang pernah kami rasakan, aku menemukan sebuah arti kekayaan sesungguhnya.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar