Madyapadma35

Selasa, 22 Mei 2012

Gitar Kesedihan

Bel pulang sekolah berbunyi , dan seperti biasa aku menunggu dijemput kakakku  di depan sekolah. Karena sudah hampir setengah jam  aku menunggu aku pun menelponnya “kak .. udah dimana? Lama banget sih, temen ku udah pada pulang semua nih” Tanya ku di telpon. “bentar lagi, ini udah di jalan ” jawab kakak ku. “ya udah cepetan ya! ”  kata ku sambil menutup telpon.

Tidak lama kemudian kak Aldo datang, “kok lama banget tadi kak?” Tanya ku sambil naik ke motor “iya tadi beli bensin dulu” jawabnya. “oh ya tadi kiriman dari ibu udah dateng” kata kakak ku saat berhenti di lampu merah. “masak? Apa aja isinya?” Tanya ku penasaran. Sambil melanjutkan perjalanan kak Aldo menjawab “ga tau, orang yang nganter belum pulang masak aku mau ngambil gitu aja?!”.
“owwh gitu ya.” Kata ku cuek. Kami pun melanjutkan perjalanan, dan tidak lama kemudian kami sudah sampai di rumah.
“eh ada tamu, permisi om” kata ku spontan dan agak malu malu karena ada cowok seumuran ku yang duduk di samping om Erwin, tampangnya sih lumayan manis. Om Erwin memperkenalkan cowok yang ada disampingnya “perkenalkan ini anak om, dia juga masih kelas 9 sama kayak kamu”. Cowok itu pun mengulurkan  tangannya dan berkata “aku Gilang, kamu?”. “oh.. aku Cindy” jawabku singkat, karena aku tidak terlalu tertarik dengan cowok tersebut.
Setelah lumayan lama berbincang-bincang om Erwin berpamitan pulang. Aku,  ayah dan kak Aldo mengantar sampai di teras rumah.
“waah pasti kirimannya baju buat hari raya” kata ku ke kak Aldo yang sedang membuka kardus kiriman dari Ibu. “iya lah mau apa lagi” sahutnya. Setelah dibuka memang benar isinya baju-baju buat aku dan kak Aldo. Seperti tahun-tahun sebelumnya ibu selalu mengirimkan pakaian saat menjelang hari raya, walaupun aku pernah melarangnya mengirim apapun dari luar negeri karna biayanya yang mahal, tapi dia tetap saja membeli pakaian dan aksesoris dari Hongkong. Sejak aku SD Ibuku memutuskan untuk bekerja sebagai guide di Hongkong. Dulunya Ayahku melarang dan tidak memberinya izin, tapi Ibuku memaksa. Dan akhirnya karena penghasilan Ayah yang pas-pasan dia pun memberi izin Ibu untuk mengambil kontrak kerja selama 3tahun.
Kalau om Erwin, istrinya dia juga bekerja di Hongkong namanya tante Wulan bahkan ibu dan tante Wulan sering pergi bersama saat hari minggu disana.
Biasanya ibu mengirim pakaian atau apapun itu lewat kantor pos, tapi karena istrinya om Erwin sedang cuti ke Indonesia ibu pun menitipkan kirimannya ke tante Wulan. Siang itu tante Wulan tidak ikut mengantarkan titipan Ibu karena dia masih capek, semalem katanya dia baru datang dari Hongkong. Dan om Erwin mengajak anaknya itu untuk membantu membawakan titipan tersebut.
Rumahku sama om Erwin tidak terlalu jauh sih. Mungkin hanya butuh waktu setengah jam untuk menuju ke rumahnya.
***



“Tiing tung..” bel rumah ku berbunyi. “siapa sih ujan ujan gini ganggu orang nonton TV aja” kataku menggerutu sambil menuju pintu depan. “kamu? Ada apa?” Tanya ku ke cowok yang bajunya sedikit basah karena terkena air hujan depan pintu. “eh aku mau pinjem jas hujan” jawab Gilang. “jas ujan?”  karena tidak terlalu jelas aku meminta Gilang untuk mengulang perkataannya. “iya jas ujan, ada ga?”. akupun menjawab “ga ada  ayahku lagi keluar jadi jas ujannya dibawa, masuk aja dulu” aku mempersilahkan masuk dan melebarkan membuka pintu. “silahkan duduk, mau dibikinin minum apa?”. “emm ga usah deh ga usah repot repot aku cuma sebentar kok, cuma nunggu sampai hujannya reda” jawab Gilang. Kami duduk di ruang tamu dan sedikit berbincang bincang. Kata Gilang dia abis beli senar gitar di toko langganannya. Dia bilang kalau dia suka banget sama gitar. Lalu aku juga bercerita kalau aku dulu sering belajar gitar sama kak Aldo. Karena sejak aku naik ke kelas 9 aku dikasih gitar sama tante ku, dan sejak itu aku mulai tertarik untuk belajar gitar. Tapi karena mulai 3bulan yang lalu kak Aldo harus bekerja di luar kota,dan aku ga ada yang ngajarin jadi gitarnya nganggur deh. “mungkin sekarang nadanya udah ga karuan, orang ga pernah dipakek” aku mencoba menjelaskan keadaan gitarku yang ada di pojok kamar. “liat dong gitarnya boleh ga?” Tanya Gilang. “boleh aja  sih sekalian benerin nada nya yaa??” kata ku sambil menuju kamar untuk mengambilkan gitar itu. Aku memberikan gitarku ke Gilang, lalu dia berkata “waw gitar yang bagus”. “apanya yang bagus, kamu ngejek yaa?” sahutku sambil melihat gitar yang memang terlihat agak berdebu itu. Gitar yang dikasih tanteku ini memang kelihatannya gitar tua, modelnya aja masih gitu. Mereknya sih Yamaha, dan kak Aldo juga pernah bilang kalau gitar ini juga bagus. Aku sih ga ngerti ya udah aku nurut aja.
Rupanya hujan sangat menyetujui pertemuan aku sama Gilang, soalnya sudah hampir 1jam hujannya bukan malah reda tapi sebaliknya hujan itu semakin deras mengguyur.
Gilang terlihat sangat mahir bermain gitar, petikannya terdengar sangat indah. Jam menunjukkan pukul 18.00 Gilang berpamitan pulang walaupun masih ada sedikit rintik hujan. Sore itu kami menjadi akrab dan sejak itu Gilang sering main ke rumah ku. Begitu juga aku yang sering ke rumahnya walaupun terkadang hanya untuk meminjam buku chord lagu.
Hampir 1tahun berlalu kami berdua menjadi dua sahabat yang sangat bahagia. Aku sering diajarin main gitar sama dia dan saat ini udah lumayan lah, mungkin aku bisa memainkan beberapa lagu. Tapi sayangnya setelah kami berdua lulus SMP kami tetap tidak satu sekolah, Gilang sekolah di salah satu SMK di dekat rumah nya. Dan aku sekolah di SMA yang jauh dari sekolah Gilang
***
“Cindy rupanya kamu sekarang semakin akrab sama Gilang” kata ibu ditelpon. “iya Bu kami sering belajar gitar bareng” aku menambahkan perkataan Ibu. “waah bagus deh kalau gitu” Ibu melanjutkan perkataannya. “ha? Apa nya yang bagus?” Tanya ku sedikit cuek. “iya Ibu pengen menjodohkan kamu berdua” Ibuku menjelaskan dengan santai. Aku sangat kaget mendengarnya karena sama sekali aku tidak terbayang kalau pacaran sama dia. Sekarang aja kami seperti saudara, bukan pacar. Perbincangan ditelpon itu berakhir. Aku masih sedikit shock dengan perkataan Ibu tadi. Keesokan harinya Gilang ke rumah, dan seperti biasa tanpa sungkan dia menghampiri ku di ruang tengah. Karena kami memang sudah akrab, jadi Gilang pun menganggap rumah ini seperti rumahnya. Kadang dia juga membuat minum sendiri di dapur. Tapi hari itu aku berpandangan beda ke Gilang, aku langsung teringat perkataan Ibu kemaren . “kamu kenapa Cindy? Kok diem aja, lagi patah hati yaa?” tebak Gilang sambil senyum senyum di depan ku. “gak papa kok, aku cuma lagi mikirin tugas hehehe..” jawabku dengan senyum tidak ikhlas. “ah bohong, gak mungkin kamu mikirin tugas sampe bengong kayak gitu.. aduuh jujur aja deh??” Gilang memang tau kebiasaan ku yang jarang mikirin tugas, dia tidak percaya begitu saja dengan perkataanku. “udah deh jangan banyak nanya, mendingan kamu maen gitar sana di ruang tamu” Gilang tidak menghiraukan perkataan ku dan dia malah mengambil remot TV dan memindah-mindah chanelnya. Aku bingung harus gimana , aku juga tidak tahu apakah Gilang mengetahui tentang perjodohan ini atau tidak. Yang jelas sejak itu aku jadi beda sama dia, aku jarang ke rumahnya lagi. Karena aku memang tidak ingin menjalin hubungan yang lebih sama Gilang. Aku menganggapnya sebagai sahabat dan bahkan mungkin dia aku anggap seperti adik ku karena walaupun umurnya dia sedikit lebih tua tapi tingkahnya kadang tidak lebih dewasa dari aku. Begitupun kak Aldo yang menganggap Gilang sebagai adiknya.
***
Seperti biasa saat awal bulan atau tanggal muda kak Aldo selalu pulang ke rumah. Tapi hari itu aku lihat kak Aldo tidak membawa motornya. “kak Aldo, mana motornya?” Tanya ku sambil membuka pintu. “motor ku rusak Cindy, sepertinya aku akan berangkat kerja dari rumah dan sementara meminjam motor kamu” jelasnya. “ya udah ga papa, tapi antar jemput aku kayak dulu lagi ya.?” .. “siip deh” sahut kak Aldo.
Sudah hampir 1bulan aku diantar jemput kak Aldo. Gilang pun jadi jarang ke rumah karena mungkin dia malu sama kak Aldo. Dan juga tujuan sebelumnya Gilang kesini kan buat ngajarin aku main gitar, terus karena sekarang sudah ada kak Aldo jadi aku diajarin sama dia bukan sama Gilang lagi.

Gilang massage:: cindy kenapa kamu ga pernah ke rumah ku?”
Cindy massage:: aku ga ada motor, motorku dipakek terus sama kak Aldo
Gilang massage:: aku kangen sama kamu, aku cinta sama kamu.
Aku sangat kaget membaca sms dari Gilang tadi malam. Aku bingung, apakah Gilang sebenarnya sudah tau tentang perjodohan ini. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati. Sampai 3 hari setelah aku menerima sms dari Gilang, dia pun ke rumah ku. Dan aku langsung menanyakan apa maksud smsnya.
“Gilang apa maksud sms kamu waktu itu” Tanya ku spontan. “sms yang mana sih” jawab Gilang dengan santai. Seperti biasa dia tidak sungkan untuk membuka HP dan melihat sms ku “kok ada sms kayak gini dari aku?” Gilang sepertinya bingung melihat sms nya sendiri. Aku langsung menjawab “ih ya ga tau, kan kamu yang sms gimana sih?”. “owh mungkin ini adik ku yang bales” katanya santai. Apa benar adiknya Gilang yang sms waktu itu. Aku tidak tau jelasnya dan aku terus bertanya-tanya, tapi di depan Gilang seolah-olah aku tidak mempermasalahkan sms itu.
Seiring waktu berlalu kita semakin jauh, aku yang membuat keadaan seperti ini. Aku jadi cuek sama Gilang, tapi tidak dengan Gilang yang tetap seperti dulu. Dalam hati aku selalu berkata “aku tidak mau pacaran sama Gilang, aku hanya menganggapnya sahabat” berkali-kali aku mengatakan itu.
Malam itu aku jadi teringat Gilang, aku pun mencoba memainkan Gitar dan mengingat-ingat beberapa lagu yang sudah diajarkan Gilang untuk menghibur hatiku sendiri.  Keesokan harinya aku memutuskan untuk ke rumah Gilang karena hari minggu jadi ada motor buat kesana.
aku mengetuk pintu rumah Gilang “tok tok tok.. permisi..”. “iya sebentar” sahut seorang laki-laki yang terlihat dari jendela depan rumah Gilang dan dia sedang menuju ke pintu. “Gilangnya ada om” Tanya ku ke orang yang tidak aku kenal, sepertinya dia tetangga Gilang. “adik ga tau kalau Gilang tadi malam kecelakaan?dia sekarang lagi di rumah sakit sama ayahnya, saya disuruh buat jaga rumahnya dia” kata laki-laki paruh baya itu. Aku sangat shock mendengar kabar tersebut “kecelakaan?.. sekarang dia di rumah sakit mana om?”. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke rumah sakit yang disebutkan tetangganya tadi. Dalam perjalanan perasaanku sangat tidak karuan, aku mempercepat laju motor. Dan sesampainya di rumah sakit aku langsung menanyakan nomor kamar Gilang ke resepsionis. “persmisi.. pasien yang bernama Gilang Permana di kamar nomor berapa?” . “maaf anda siapanya?” Tanya orang yang berpakaian suster itu. “saya kakaknya. Cepat antar saya ke  kamar Gilang!” bentak ku dengan raut wajah tergesa-gesa dan khawatir. “oh mari saya antar” jawabnya.
“Gilang.. kok bisa sampai kayak gini?, Om gimana ceritanya?” Tanya ku ke om Erwin yang duduk di samping tempat tidur Gilang. “saya belum tau persis gimana ceritanya Cindy, dari kemarin dia belum siuman yang jelas Gilang kecelakaan di tikungan jalan menuju rumah kamu” Om Erwin mencoba menjelaskan keadaan Gilang. “ya ampun.. Gilang..” tanpa sengaja air mata ku menetes. “terus gimana kata dokter?” Tanya ku ke Om Erwin. “kata dokter kakinya mati rasa dan lumpuh, tulang punggungnya retak dan harus dioperasi” Om Erwin menjelaskan dengan lesu.
Hari semakin larut dan aku pun terpaksa harus pulang. “Om saya pulang dulu.. besok sepulang sekolah saya akan kesini lagi” aku berpamitan dan sedikit merapikan selimut Gilang. “iya Cindy, kamu hati-hati yaa” ..

Keesokan harinya sepulang sekolah aku diantar kak Aldo menuju ke rumah sakit. Aku lihat Gilang sudah siuman, sedikit tenang rasanya. Aku tidak banyak bertanya karena keadaan Gilang yang masih belum stabil. “Gilang ini aku bawakan makanan kesukaan kamu, ntar dimakan yaa.. “ aku meletakkan bungkusan itu di meja. Kak Aldo sama Om Erwin terlihat sedang ngobrol di tempat duduk yang terletak di samping pintu. Gilang sangat lemas “aku lumpuh Cindy”..  aku ingat dia mengatakan itu.

1bulan berlalu akhirnya Gilang boleh dirawat di rumah, dan aku pun tidak perlu ke rumah sakit lagi untuk menjenguknya. Waktu terus berputar setidaknya setiap hari minggu aku selalu ke rumah Gilang, dan dia sangat berubah. Gilang seolah-olah kehilangan keceriaannya, dia lebih sering terlihat ngelamun di kursi roda nya. Dan terkadang Gilang hanya bermain PS atau menyanyikan beberapa lagu dengan gitarnya. Dia punya dua gitar, kata Gilang gitar yang satu itu punya kakak sepupunya. Waktu itu aku pernah minta gitarnya dia walaupun cuma bercanda sih, tapi kelihatannya kalau aku minta gitarnya beneran pasti bakal dikasih. Aku ingat pembicaraan kita siang itu di rumah Gilang “eh kamu punya dua gitar?”. “enggak yang satunya punya kakak sepupu ku” kata Gilang. “owh padahal aku mau minta satu.. hehehe” canda ku. “bawa aja punya ku, ntar aku pakek yang ini aja” katanya dengan santai. Gilang baik banget ke aku, sepertinya dengan mudah ia memberikan barang-barang berharganya ke aku begitu saja.
***

Tiga bulan sudah Gilang menjalani hari-harinya di kursi roda. Dia tidak pernah mengeluh walaupun sebenarnya dia sakit. Tidak seperti biasanya hari itu perut Gilang terlihat sangat kesakitan. Ayah Gilang langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Setelah 3hari dirawat di rumah sakit tersebut, dokter menyarankan untuk merawat Gilang di RS yang lebih besar dan peralatan yang lebih modern. Ayah Gilang pun menuruti perkataan dokter tersebut karena tidak mau hal yang tidak di inginkan terjadi dengan anaknya. Setelah Gilang dipindah ke RS yang lebih besar tersebut dia langsung diperiksa secara intensif dan keesokan harinya dokter menjelaskan hasil rontgen ke Om Erwin. “lambung Gilang bocor seperti bekas terkena jarum suntik, dimana anak bapak sebelumnya dirawat?” dokter bertanya ke Om Erwin. “sebelum anak saya dirawat di RS ini dia dirawat di RS dekat rumah saya dok” jawab Om Erwin. Om Erwin pun tidak tau kenapa saat Gilang disuruh pindah ke RS lain dia tidak mendapat surat rujukan dari RS yang merawat Gilang sebelumnya. Rupanya ini penyebabnya, RS itu sudah melakukan kesalahan yang fatal dan tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas hal tersebut. Om Erwin tidak mau memperpanjang  dengan melaporkan kasus ini ke pihak yang berwajib, dia sekarang hanya memikirkan bagaimana caranya agar Gilang cepat pulih kembali. “lalu bagaimana dok agar Gilang bisa terselamatkan?” Om Erwin mencoba berusaha melakukan apa yang terbaik untuk Gilang. “terpaksa Gilang harus dioperasi secepatnya sebelum lambungnya pecah” saran dokter. “baik dok saya akan melakukan apa saja untuk Gilang, kapan operasi itu akan dilakukan?..”   “bapak harus menandatangani beberapa surat ini” kata dokter. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa om Erwin menyetujui anaknya  untuk dioperasi. “Gilang kamu besok akan dioperasi, kamu harus siap kamu harus kuat nak” sore itu om Erwin memberitahu Gilang yang terbaring lemas di tempat tidur rumah sakit tersebut. “baik ayah ..”  terlihat raut wajah gilang hampir putus asa menerima keadaan.
Hari ini tepatnya jam 16.00 Gilang akan dioperasi. Namun Tuhan berkendak lain, jam 08.00 Gilang menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sangat marah pada diriku sendiri, aku tidak bisa melihat Gilang untuk yang terakhir kalinya. Hari itu tidak ada yang memberi kabar tentang kematian Gilang. Hinggga sore hari saat aku pulang ekstrakurikuler dari sekolah, kak Aldo menjemput aku seperti biasanya. Tapi kali ini raut wajahnya berbeda, dia terlihat sedih. Dalam perjalanan pulang kak Aldo mengatakan apa yang sebenarnya terjadi  “Cindy .. Gilang meninggal”. “apa? Gilang meninggal ?.. gak mungkin, kakak bercanda kan?” aku memang benar-benar tidak percaya dengan perkataan kak Aldo. “aku ga bercanda Cindy.. Gilang meninggal tadi pagi, kalau kamu masih ga percaya sama kakak, telpon aja keluarganya dia”.  Aku langsung mengambil HP yang ada di tasku “halo .. a a apa benar Gilangnya meninggal?”.
“iya kak, kak Cindy cepet kesini ya” terdengar seperti suara adiknya Gilang ditelpon. Air mata  ku ga ada berhentinya mengalir, untung saja saat itu hujan deras mengguyur perjalanan kami, jadi tidak ada yang tahu kalau aku lagi menangis. Sesampainya di rumah aku ganti baju dan langsung menuju ke rumah Gilang. Dalam perjalanan menuju rumah Gilang aku masih berharap saat aku datang aku bisa melihat Gilang. Aku masih tetap tidak percaya, tapi entah kenapa air mata ini seolah mengerti apa yang terjadi. Mulai dari aku pulang ekstrakurikuler sampai perjalanan ke rumah Gilang sudah hampir sampai, aku tidak bisa berhenti menangis. Di gang rumah Gilang  terpasang bendera yang menandakan bendera duka, rumah Gilang ramai orang mengaji. Aku masuk lewat pintu samping dan menanyakan bagaimana kronologi kematian Gilang ke om Erwin. Dia menceritakan semuanya, dan aku tetap berusaha menyembunyikan kesedihan ini. Aku tidak ingin Om Erwin semakin bersedih dengan kedatangan ku, aku mencoba menguatkan Om Erwin dengan berkata “mungkin semua ini sudah takdir Om, Tuhan merencanakan yang terbaik buat Gilang”. Walaupun sebenarnya aku juga masih belum bisa menerima keadaan ini. Selama 1minggu setelah kematian Gilang setiap malam aku hanya bisa memainkan gitar dengan menyanyikan lagu Bondan F2B yang berjudul Rhime In Peace dengan ditemani air mata yang setia ini. Air mata ku sanggup katakan lebih banyak daripada pesan yang disampaikan semua kata.    Aku baru menyadari kalau aku sebenarnya juga cinta sama Gilang, aku baru menyadarinya setelah Gilang tidak lagi ada di dunia ini. Aku sangat merasa bersalah atas kematian Gilang Semua penyesalan ini memang sangat tidak berguna. Tetapi kenyataannya aku cinta sama Gilang. Maafkan aku Gilang, saat itu aku tidak ada disampingmu. Kalau aku diizinkan membalas sms kamu waktu itu aku tidak akan malu aku akan menjawab kalau aku juga cinta sama kamu Gilang. Tapi Cinta ini sudah terlewatkan.
***
“Cindy sudah satu bulan kematian Gilang berlalu tapi kenapa kamu terlihat masih belum bisa menerimanya?” ayah ku datang sambil membawakan secangkir teh. Dengan wajah lesu aku berkata  “ga kok  yah Cindy ga papa Cindy baik-baik saja, ayah tidak perlu khawatir dengan keadaan Cindy” . “satu bulan kedepan Ayah akan bekerja di luar kota, Ayah tidak tega melihat kamu seperti ini Cindy, Ayah berinisiatif bagaimana kalau kamu ikut tante mu di Bali?.. mungkin dengan kamu disana kamu bisa melupakan Gilang”.
“terserah ayah saja, Cindy tidak tahu apa yang harus Cindy lakukan” .

Keesokan harinya aku berpamitan ke rumah Om Erwin. Ternyata sebelum kematian Gilang ia menitipkan gitarnya dan rekaman lagu yang Gilang nyanyikan untuk ku. Judul lagu itu Gitar Kesedihan.
Aku semakin merasa bersalah atas meninggalnya Gilang. Tapi harus apa ketika semua sudah terjadi.

Yang jelas kelas 10 semester 2 aku sudah pindah ke Bali, aku tidak lagi bersekolah di Jawa. Aku didaftarkan di salah satu sekolah yaitu SMAN 3 Denpasar. Sudah 4bulan aku disini, aku hidup dalam keramaian yang sepi. Bayangan Gilang tidak pernah hilang dari pikiranku, dia tetap ada.
Dari pengalaman itu aku dapat mengambil hikmahnya, kita harus jujur dengan perasaan kita, katakan sebelum semuanya terlambat dan menjadi penyesalan yang tak berguna.
Gitar kesedihan
sejuk di dalam hatiku saat ku petik semua senar gitarku.. 
Seperti nada-nada jiwa ku.. 
Isyarat hatiku.. 
Menetes air mataku saat aku nyanyikan semua laguku.. 
Hanya gitar ini temani aku saat ku sendiri.. 
Tak kan pernah hilang di dalam hatiku.. Akan abadi selamanya.. 
Nada-nada cinta ini yang tlah terukir olehnya..
Seperti alunan cinta di dalam hatiku ..
Begitu indah ku dengar saat ku petik senarnya seperti nyanyian gundah.. 

Hanya dengannya aku bisa mengungkapkan semua isi hatiku ..
Meluapkan semua perasaanku.. Dan sakit hatiku.. 

   Dalam gelap ku..                                

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar